Khutbah Jumat: Lima Ciri Utama Peradaban Islami

Ciri khas peradaban Islami hingga saat ini masih eksis dan bertahan bahkan tetap relevan dengan kehidupan moderen sekarang hingga akhir zaman. Secara garis besar peradaban Islami tidak dapat dipisahkan dari lima koneksitas (hubungan), di antaranya.

Share :
Khutbah Jumat: Lima Ciri Utama Peradaban Islami
Artikel

Oleh : Dr. KH. A. Nur Alam Bakhtir

Jakarta, www.istiqlal.or.id - Setiap peradaban umat manusia dalam perjalanan sejarah selalu mempunyai ciri khas tersendiri, tidak terkecuali peradaban Islami yang dibangun sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, lima belas abad yang lalu hingga sekarang ini substansinya sama saja. Ciri khas peradaban Islami hingga saat ini masih eksis dan bertahan bahkan tetap relevan dengan kehidupan moderen sekarang hingga akhir zaman.

Secara garis besar peradaban Islami tidak dapat dipisahkan dari lima koneksitas (hubungan), di antaranya sebagai berikut.

1. Koneksitas antara manusia dengan Sang Pencipta Allah Ta’ala (al-ittishal baina al-insan wa baina Allah)

Inti hubungan antara manusia dengan al-Khaliq, Allah subhanahu wata'ala adalah 'ubudiyyah, yaitu ibadah. Manusia adalah hamba ('abd) yang mengabdikan diri (menyembah), sedangkan Allah Ta’ala adalah pusat manusia menyembah atau mengabdikan diri kepada-Nya (al-ma'bud).

Karena itu menurut al-Nahlawi dalam kitabnya Ushul al-ttarbiyyah al-Islamiyyah, hal. 36, akumulasi dari seluruh pertanggungjawaban, adalah pertanggungjawaban manusia terkait ibadah kepada Allah dan mentauhidkan-Nya. Yakni memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata (QS. al-Dzariyat ayat 56).

Menurut Ibnu Katsir: Sesungguhnya Aku ciptakan mereka itu dengan tujuan untuk memerintahkan mereka beribadah kepada-Ku, dan bukan dikarenakan Aku membutuhkan mereka. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas: "maksudnya, supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik secara sukarela maupun terpaksa." Dan ini pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir, kecuali supaya mereka (manusia) mengenal Aku (li-ya’rifuni).

Sedangkan Rabi’ bin Anas mengatakan : "Maksudnya, tidak lain kecuali untuk beribadah." Dalam dimensi yang berbeda, substansi dari ibadah kepada Allah Ta’ala, sebenarnya bermakna menggantungkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah ansich. Sebab, hanya Allah yang memiliki sifat “al-Shamad”. Menurut Ibnu Abbas, artinya: Sesungguhnya Dia-lah yang kepada-Nya manusia menyandarkan segala hajat mereka.

Oleh karena itu, siapapun yang menggantungkan diri selain kepada Allah, al-Qur'an mengilustrasikannya seperti rumah laba-laba. Dan tidak ada rumah yang paling rapuh di dunia ini kecuali rumah laba-laba (QS. al-'Ankabut : 41). Indikasi ilmiyahnya penyebutan kata “al-‘Ankabut” (laba-laba) adalah bentuk tunggal (mufrad) feminin. Bentuk jamaknya adalah “'anakib wa 'ankabutat”. Penamaan surat ini, menggunakan bentuk tunggal “‘ankabut” menurut Zaghloul El-Naggar, menunjukkan pola kehidupan individual binatang tersebut, kecuali pada masa perkawinan dan penetasan telur.

2. Hubungan antara manusia dengan jagad raya (al-ittishâl baina alinsân wa al-Kawn)

Hubungan antara manusia dengan jagad raya substansinya adalah ditaklukkan (taskhir). Banyak hal yang ada di dijagadraya ini ditundukkan (ditaskhir) untuk manusia, sebagai karunia atau anugrah yang penuh dengan kenikmatan. Seluruh jagadraya adalah makhluk kepunyaan Allah yang diciptakan memiliki maksud dan tujuan tertentu. Diciptakannya jagad-raya bukan permainan dan sendagurau, akan tetapi mempunyai maksud dan tujuan serta memiliki alasan atas penciptaannya.

Sebagaimana ditegaskan Allah dalam Firman-Nya surat al-Dukhan ayat 38-39 dan al-Ahqaf ayat 3. Allah-lah yang menetapkan sunatullah secara konstan, berdiri kokoh di atas penggerakan dan pengaturan serta perintah-Nya. Allah telah menundukkan bahtera berlayar di lautan (QS. al-Hajj: 65) Allah telah membentangkan dengan kekuasaan-Nya. Allah mengatur semua urusan (al-Rum: 25). Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mentaskhir banyak hal di jagad-raya ini untuk kebutuhan dan kemanfaatan umat manusia.

Dari benda besar yang berpengaruh dan sangat bermanfaat seperti matahari hingga alkawn terkecil yang dapat diambil manfaat darinya seperti “lebah” dan “al-dzarrah”, bagian yang terkecil berupa atom dan molekul, (QS. Ibrahim: 32 - 34).

Untuk mendapatkan manfaat dari itu semua sesunggunya Allah Ta’ala telah menganugerahi manusia berupa kemampuan untuk belajar dan memahami sesuatu. Dan membekali manusia dengan seluruh perangkat kemampuan untuk belajar dan memahami segala sesuatu yang belum diketahui (QS. al-‘Alaq: 3-5 dan QS. al-Baqarah: 31-32).

Perangkat kemampuan untuk belajar itu di antaranya adalah pendengaran, penglihatan dan hati (QS. al-Nahl: 78).

3. Hubungan antara manusia dengan kehidupan dunia (al-ittishâl baina al-insân wa al-hayâh)

Di dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa manusia diciptakan di dunia adalah dalam rangka Allah mengujinya (QS. al-Insan: 2). Disadari atau tidak disadari, dalam perjalanan hidup manusia, ujian dalam berbagai bentuknya pasti dialami oleh siapa pun selama hayat dikandung badan. Perspektif al-Qur`an, ujian itu ada dua kategori, berupa keburukan (QS. al-Syarr) dan kebaikan (QS. al-khayr), (QS. al-Anbiya’: 35).

Untuk menghadapi dua dimensi ujian tersebuat, erat kaitannya dengan pendidikan, misalnya dalam konteks ujian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan umatnya dua kata kunci, yaitu syukur dan sabar sebagai solusi mengatasi ujian. Dinyatakan dalam salah satu hadits yang diriwayatkan dari Shuhaib al-Rummi radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan : “Sungguh menakjubkan perkara bagi orang mukmin, sesungguhnya perkaranya semuanya adalah baik, dan hal tersebut tidak dimiliki oleh seorangpun kecuali milik orang mukmin.

Jika ia dianugrahi kelapangan ia bersyukur, maka syukurnya adalah kebaikan baginya. Jika ia ditimpa musibah keburukan ia bersabar, maka sabarnya adalah kebaikan baginya.” (H.R. Muslim).

4. Hubungan antara manusia dengan pertanggung-jawaban (alittishal baina al-insan wa al-amanah, substansinya tanggung jawab (mas’uliyah) dan pembalasannya (jaza’uh)

Manusia adalah makhluk paling sempurna, dengan kesempurnaan yang dimiliki, menjadikan manusia menyandang predikat sebagai makhluk mulia dan dimuliakan (QS. al-Isra’: 70). Untuk mencapai sesuatu yang menjadi angan-angan dan tujuannya, manusia dibekali akal (‘aql). Dengan akalnya manusia memiliki kompetensi dapat membedakan antara baik dan buruk (tamyîz).

Allah berfirman: “Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak ada bagimu pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semua itu akan diminta pertanggung-jawabannya” (al-Isra': 36).

Dari sejak kelahirannya, manusia telah diberikan atau diilhami dua potensi, potensi ketaqwaan dan potensi kefujuran (QS. alSyams: 8). Dengan demikian manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalan yang menghantarkannya kepada kebaikan dan kebahagiaan atau sebaliknya, jalan keburukan dan kesengsaraan.

Manusia pun diciptakan memiliki kompetensi kemampuan untuk belajar dan memahami sesuatu demi kualitas dan prestasi hidupnya. Untuk dapat mempelajari dan memahami semua itu, manusia dibekali dengan perangka pendengaran, penglihatan, dan hati (fu'ad) (QS. al-Sajdah: 9). Manusia pun, dibekali dengan perangkat lisan dan dua bibir (syafatain), (QS. al-Balad: 9). Sehingga dengan itu manusia dapat menjelaskan atau mendeskripsikan sesuatu kepada orang lain.

Bahkan, dibekali pula dengan pena (qalam), (QS. al-Qalam: 1). Karena itu dapat mengekspresikan segala sesuatu yang ada dibenaknya dalam bentuk tulisan. Sehingga dapat mengirim pesan dan bisa dibaca dan ditrasformasikan kepada orang lain. Bahkan melalui lidahnya manusia mampu membedakan jenis rasa (zawq).

5. Hubungan antara manusia dengan sesamanya (al-ittishal baina al-nas) sebagai makhluk sosial

Keterkaitan hubungan manusia dengan sesama, di dalam alMustadrak diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa ada satu ayat paling representatif dan konprehensif mewakili terkait kebaikan dan keburukan (al-khayr wa al-syarr). Yaitu Surat al-Nahl ayat 90: Menurut pandangan al-Razi bahwa Surat al-Nahl ayat 90 mengutarakan tiga kategori yang diperintahkan Allah dan tiga kategori yang dilarang Allah untuk dipatuhinya.

Dua sisi perintah dan larangan tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dalam terminologi Islam terma perintah dikenal dengan sebutan al-Amr. Tiga kategori perintah (al-amr) dimaksud adalah: berbuat adil (al-'adl), berbuat kebajikan (ihsan), dan memberi pada kaum kerabat (ita'dzial-qurba), atau sikap lebih mementingkan orang lain (itsar).

Perintah itu menunjukan adanya tiga kategori kebajikan secara berjenjang, baik, lebih baik, dan terbaik. Berbuat adil adalah standar, berbuat ihsan adalah super, sedangkan berbuat itsar, lebih mementingkan orang lain adalah the Best.

Demikian sebalikanya dengan tiga larangan. Perbuatan fahsya adalah buruk, perbuatan munkar adalah lebih buruk, dan perbuatan al-baghy atau permusuhan adalah sangat buruk. (FAJR/Humas dan Media Masjid Istiqlal)

Tags :

Related Posts: