Khutbah Jumat Masjid Istiqlal: Santri Merawat dan Memperkokoh Nilai-Nilai Perjuangan
Fatwa dan Resolusi Jihad menjadi bukti abadi bahwa kalangan Ulama dan Santri mengemban peran penting dan mensejarah dalam pembentukan karakter dan arah perjuangan bangsa.
Oleh : Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA
(Wakil Ketua MPR RI)
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah SWT. Kita bersyukur kepada Allah, karena dengan nikmat iman dan tauhid maka Allah subhanahu wata'ala memberikan karunia ketakwaan dengan berbagai wasilahnya yang penuh keberkahan.
Karena kita sebagai kaum beriman dan bertauhid sangat mensyukuri nikmatnya dipertemukan di hari yang penuh berkah ini, dalam rangka mengisi relung hati kita dengan kedalaman takwa, melalui ilmu yang bertambah dan amal yang meningkat. Inilah ilmu yang meninggikan derajat pemiliknya dengan keindahan hakiki iman dan tauhid.
شَهِدَ اللّٰهُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۙ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَاُولُوا الْعِلْمِ قَاۤىِٕمًاۢ بِالْقِسْطِۗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ
Artinya : “Ya Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia, (Allah) yang menegakkan keadilan. (Demikian pula) para malaikat dan orang berilmu. Tidak ada tuhan selain Dia, Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” (QS. Ali 'Imran/3: 18).
Sesungguhnya menjadi jelas bahwa orang yang berilmu menjadi istimewa karena kesadaran dan kesaksiannya terhadap kebenaran tauhid, kebenaran kuasa Allah subhanahu wata'ala yang diagung-agungkan oleh para malaikat, kebenaran kuasa Allah subhanahu wata'ala sebagai Rabb yang mewujudkan keadilan bagi alam dan segenap makhluknya. Bahkan para malaikat dan mereka yang berilmu digambarkan dalam ayat ini bagaikan satu entitas kebaikan, satu kesatuan ketaatan. Inilah kedudukan mulia yang Allah SWT tetapkan bagi mereka yang berilmu.
Pada sisi ini, perlu kita ketahui dan sadari bahwa sebagaimana Allah subhanahu wata'ala selalu memberikan keutamaan di atas keutamaan, sebagaimana mulianya hari Jumat pada setiap pekan, bulan Ramadhan di atas seluruh bulan, maka terdapat keutamaan istimewa yang hanya diberikan Allah subhanahu wata'ala kepada mereka yang mendalami ilmu agama di atas ilmu-ilmu lainnya. Marilah kita sama-sama menyimak firman Allah subhanahu wata'ala di al-Qur'an surah at-Taubah ayat 122 :
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ ࣖ
Artinya : “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?” (QS. at-Taubah/9: 122).
Mengapa dalam konteks ini Allah subhanahu wata'ala memerintahkan adanya sebagian orang yang memperdalam agama, sedangkan masyarakat lainnya pergi berjuang fi sabilillah?
Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya meriwayatkan dari sayyidina Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa maksud dari ayat ini ialah supaya mereka yang tidak ikut berjuang dapat memiliki fokus untuk memperdalam ayat-ayat Al-Quran yang baru turun, atau pun ilmu-ilmu keagamaan lainnya yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang demikian itu supaya para masyarakat lainnya yang pulang setelah berjuang dapat belajar dari mereka yang mempelajari ilmu-ilmu baru tersebut lebih dulu bersama Nabi.
Inilah misi tafaqquh fid-diin. Misi memperdalam ilmu agama. Sebuah misi yang menjadi bagian penting dari kehidupan umat Islam sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga zaman kita pada hari ini. Sejatinya misi tafaqquh fid-diin sangatlah bertautan erat dengan misi dakwah menyebarkan ajaran Islam, sebagaimana kita ketahui bersama dari kandungan ayat tadi.
Sehingga dari mekanisme tafaqquh fid-diin dan dakwah inilah kita dapat menemukan sebuah rangkaian keilmuan yang kokoh dan tersebar melintasi sekat generasi dan sekat geografis. Dimulai dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para Sahabat beliau ridhwanullahi ‘alaihim, kemudian berlanjut kepada para Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, terus bersambung hingga kepada para 4 (empat) Imam Madzhab, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad. Bahkan sampai ke bumi Nusantara melalui perjuangan Wali Songo yang mulia.
Rangkaian atau sanad penuh keberkahan ini tiada lain menjadi cikal-bakal lahirnya entitas pesantren dan santri yang memiliki peranan mensejarah di bumi Nusantara yang kita cintai ini.
Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah SWT. Sejak kehadirannya, kelompok Pesantren dan Santri mendedikasikan pengabdiannya kepada masyarakat pedesaan secara sederhana. Pengabdian tersebut diwujudkan dalam bentuk pelayanan yang bersifat keagamaan kepada masyarakat.
Kehadiran santri pada awalnya memang sebagai pelajar dan penyiar agama Islam. Namun lebih jauh dari itu, kelompok santri berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial, yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan. Pada perkembangannya peran santri dikembangkan kepada upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks seperti ini, para santri pada dasarnya merupakan pendidik yang sarat dengan nuansa reformasi sosial. Hal ini tidaklah aneh, karena para santri tentunya memahami sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam :
وإنَّ فضلَ العا لمِ على العابدِ كفضلِ القمرِ ليلةَ البدرِ على سائرِ الكواكبِ
Artinya : “Keutamaan ahli ilmu dibanding ahli ibadah sama seperti keutamaan bulan pada malam purnama dibanding bintang-bintang lainnya” (HR. Abu Dawud No. 3641).
Para Santri tentunya mempelajari penjelasan para Ulama mengenai hadits tersebut, bahwasanya keutamaan ahli ilmu di atas ahli ibadah disebabkan ahli ibadah belum tentu kebaikannya dapat bermanfaat bagi orang lain. Maka sudah jelas bahwa keutamaan ahli ilmu ialah terletak pada kontribusinya dan kebermanfaatannya bagi sesama umat manusia.
Dari sinilah kaum santri menyadarkan dan membangunkan masyarakat akan kondisi kolonialisme oleh para penjajah, agar masyarakat bangun dan bangkit melawan para penjajah merebut kemerdekaannya.
Sehingga bangkitlah Pangeran Diponegoro, Teungku Cik Ditiro, Tuanku Imam Bonjol, Syaikh Yusuf AlMakassari, Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, KH. Sholeh Darat, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, HOS Tjokroaminoto, serta nama-nama mulia lainnya dari kalangan ulama dan santri yang dengan gagah berani serta bijaksana melawan kolonialisme asing yang menindas umat Islam dan masyarakat Nusantara.
Bahkan sejarah mencatat perjuangan, ijtihad, mujahadah, dan kontribusi positif kalangan Ulama dan Santri dalam menyongsong kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Sebuah momentum titik balik kejayaan bangsa Indonesia yang dalam perjalanannya membawa pesan yang tegas sebagaimana diabadikan Pembukaan UUD NRI 1945:
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”
Kita bersyukur, kesetiaan dan kesungguhan perjuangan kaum ulama dan santri selama berabad-abad, telah menjadi fondasi abadi bagi negara Indonesia Merdeka yang kita cintai ini.
Namun sesungguhnya ujian besar bagi bangsa Indonesia tidaklah berhenti setelah proklamasi kemerdekaan, bahkan upaya-upaya musuh bangsa Indonesia semakin keras dalam meruntuhkan Republik Indonesia yang baru berdiri. Berbagai negara kuat bergabung bersama penjajah Belanda untuk menghancurkan kekuatan tekad bangsa Indonesia melalui berbagai tekanan, serangan, invasi, dan agresi.
Di tengah membaranya suasana Surabaya yang sedang dalam ancaman invasi Sekutu untuk meruntuhkan eksistensi Indonesia, KH Hasyim Asy'ari sang pendiri Nahdlatul Ulama dan selaku ulama besar tanah Jawa, dengan tegas mengeluarkan Fatwa Jihad fi Sabilillah pada 22 Oktober 1945 yang mendorong umat Islam untuk berjihad di jalan Allah, mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamirkan dari cengkeraman penjajahan.
Fatwa ini menggema di seluruh penjuru Nusantara, mengajak seluruh umat Islam untuk bersatu, berjuang, dan berkorban demi negeri ini. Adapun isi dari Fatwa Jihad fi Sabilillah yaitu, “Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardlu ’ain yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, IakiIaki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (yang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja).”
Betapa jelasnya kebijaksanaan dan kedalaman pemahaman para Ulama dan Santri kita, dalam merealisasikan kebulatan tekad melawan penjajah dalam kerangka Jihad fi Sabilillah, tidak lain berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa setiap penuntut ilmu agama sesungguhnya dalam status Fi Sabilillah selama masa belajarnya:
مَنْ خَرَجَ فِى طَلَبُ الْعِلْمِ فَهُوَ فِِى سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْ جِعَ
Artinya : “Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu maka ia berada di jalan Allah hingga ia pulang” (HR. Tirmidzi No. 2647).
Penting untuk kita mengerti bahwa jihad dalam konteks ini bukanlah semata tentang perang dan adu senjata semata, melainkan utamanya tentang perjuangan, pengorbanan, dan kesediaan untuk memberikan yang terbaik demi kebaikan Umat dan Bangsa, serta segenap umat manusia. Resolusi Jihad mengajarkan kita bahwa Islam, Nasionalisme, dan kemanusiaan, merupakan kesatuan tak terbagi yang esensial dalam membangun bangsa yang kuat, berdaulat, dan beradab.
Jamaah shalat Jumat yang dirahmati Allah SWT. Fatwa dan Resolusi Jihad menjadi bukti abadi bahwa kalangan Ulama dan Santri mengemban peran penting dan mensejarah dalam pembentukan karakter dan arah perjuangan bangsa. Fatwa dan Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 ditetapkan sebagai peringatan Hari Santri Nasional yang sebentar lagi akan kita peringati.
Dalam era saat ini, di mana banyak tantangan dan perpecahan, semakin dipentingkan menjadikan peringatan Hari Santri Nasional sebagai momentum bagi kita untuk mengambil berbagai inspirasi positif dari Fatwa dan Resolusi Jihad serta nilai-nilai positif yang kita bisa kita dapatkan dari kehidupan dan masyarakat Pesantren dan Santri. Kita perlu menyadari bahwa kita memiliki sejarah panjang perjuangan yang didasari oleh nilai-nilai luhur, di mana ulama dan santri berdiri di garis depan, bersama-sama dengan rakyat, berjuang demi Indonesia.
Lewat semangat jihad dan perjuangan yang diilhami oleh ajaran-ajaran Islam, para santri telah menunjukkan bahwa Islam dihadirkan dengan berkontribusi bagi masyarakat, bangsa, tanah air, hingga segenap umat manusia. Tidak hanya dengan mewujudkan dan mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia dari semenjak kemerdekaannya hingga hari ini, bahkan kalangan Ulama dan Santri membuktikan kontribusi Indonesia bagi tegaknya perdamaian dan kemaslahatan kemanusiaan di seluruh dunia.
Pembelaan kalangan Ulama dan Santri bagi kemerdekaan bangsa Palestina dan keselamatan Masjidil Aqsha sejak awal abad 20 hingga hari ini, merupakan bakti kemanusiaan sebagai bukti kebenaran dan kebaikan ajaran Islam yang hanif. Dalam menjaga dan mempertahankan kemerdekaan, para santri tetap berperan aktif, melalui pendidikan, dakwah, dan pelayanan sosial. Mereka mengajarkan kita tentang pentingnya persatuan, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebagai penutup, kita semua baik dari kalangan santri atau pun bukan santri, tetaplah dapat menghadirkan nilai-nilai positif yang diteladankan dan dibaktikan oleh kalangan Ulama dan Santri Indonesia, sebagai kebanggaan umat Islam dan bangsa Indonesia seluruhnya. Selamat memperingati Hari Santri Nasional, selamat melanjutkan kontribusi positif umat Islam bagi Bangsa, Negara, dan segenap Umat Manusia. (FAJR/Humas dan Media Masjid IStiqlal)