Khutbah Jumat: Substansi Shalat dalam Membentuk Karakter Pribadi Muslim

“Akan datang suatu masa menimpa manusia, banyak yang melakukan shalat, padahal sebenarnya mereka tidak shalat”. (HR. Ahmad)

Share :
Khutbah Jumat: Substansi Shalat dalam Membentuk Karakter Pribadi Muslim
Artikel

Oleh : KH. Jamaluddin F. Hasyim, SH,I, MH (Ketua KODI DKI Jakarta)

Jakarta, www.istiqlal.or.id - Ma'asyiral muslimin rahimakumullah. Pertama-tama marilah kita bersama meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan sesungguh hati tanpa basa-basi. Karena kesungguhan dalam bertakwa akan berimplikasi dalam sikap laku taat terhadap syariat dan menghindar dari maksiat. Sesungguhnya syariat bawaan rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kebenaran mutlak yang tidak bisa diragukan lagi. Shalat, zakat, puasa, dan haji merupakan di antara bukti formal ketaatan seseorang dalam berislam.

Sidang Jum’at yang berbahagia. Perputaran waktu dari detik, ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu dan bulan ke bulan tak terasa kita sudah berada di awal bulan sya’ban yang artinya beberapa minggu lagi kita akan menghadapi Bulan Ramadhan dan beberapa hari yang lalu kita sudah melewati bulan rajab yang telah kita ketahui bersama bahwa merupakan bulan memperingati terjadinya peristiwa yang luar biasa dalam sejarah peradaban Islam pada masa Rasulullah, yakni Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke masjidil Aqsha dan dari masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha.

Peristiwa besar sekaligus bersejarah ini terukir dalam kitab suci Al-Qur’anul Karim. Dalam surah al-Isra’ ayat 1 Allah subhanahu wata'ala berfirman:

سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ١

Artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”

Barangkali kita semua sudah maklum mengenai rentetan peristiwa yang menunjukkan kebesaran Allah ini. Dimana dengan kekuasaan-Nya yang maha luas, Allah telah menunjukkan kebesarannya kepada manusia melakukan sesuatu yang berada di luar hukum-hukum thabi`i (hukum alam), di luar kemampuan nalar manusia pada umumnya.

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah AlQuran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.

Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira mereka yang menolak peristiwa ini.

Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar Al-Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.”

Merenungkan kebesaran dan kekuasaan Allah dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah sesuatu yang penting dalam rangka mengingatkan kita kepada jati diri kita sebagai manusia dan tugas kita dalam menjalani hidup di dunia ini. Namun yang tidak kalah penting juga adalah sejauh mana kita mampu menangkap substansi dari peristiwa luar biasa ini.

Sidang Jum’at yang berbahagia.

Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. John Renerd dalam buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.

Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil) Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.

Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf. salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah “berjumpa” dengan Allah. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah“; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh“.

Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Ashadu an La Ilaha Illa LLAH wa ashadu anna Muhammadan rasulullah Maka, dari ungkapan bersejarah inilah kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan shalat.

Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat yang di jalankan umat islam sehari-hari.

Sebagaimana telah kita maklumi bersama, inti dari pertemuan Allah dan Nabi Muhammad di Sidratul Muntaha adalah diturunkan kewajiban yang paling fundamental di dalam Islam, yakni melaksanakan shalat lima waktu. Begitu pentingnya perintah shalat ini bagi manusia sehingga peribaratan yang dapat digambarkan untuk melukiskannya secara singkat adalah “Ash-sholatu `imaduddin”, sholat adalah tiang agama. Jika tiang tersebut rusak atau kurang sempurna maka agama seseorangpun dikhawatirkan akan rubuh atau tidak sempurna pula.

Pengertian sholat yang sedemikian vital ini sudah barang tentu bukanlah pengertian sholat dalam bentuk verbal saja, akan tetapi shalat dalam pengertiannya yang utuh, sholat yang menjadi sarana pembentukan identitas moral dan karakter sosial.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah. 
Dalam pelaksanaan shalat sendiri, penting untuk diingat oleh kita semua untuk senantiasa mengedepankan kualitas shalat. Bukan hanya kuantitas shalat saja. Kewajiban shalat yang difokuskan kepada kuantitas atau jumlah saja akan menjadikan diri terbebani dalam menjalankannya.

Jika kewajiban shalat kita kerjakan dengan mengedepankan kualitas, maka shalat yang dilakukan akan benar-benar bisa dinikmati dan akan berdampak pada perilaku serta kualitas kehidupan kita. Rasulullah pernah mengingatkan dalam haditsnya yang diriwayatkan Imam Ahmad:

يأَتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُصَلّوْنَ وَلاَ يُصَلُّوْنَ

Artinya : “Akan datang suatu masa menimpa manusia, banyak yang melakukan shalat, padahal sebenarnya mereka tidak shalat”.

Hadits ini mengingatkan kepada kita untuk senantiasa menjalankan perintah ini dengan sempurna mulai dari aspek fiqihnya sampai dengan aspek hakikat dari shalat itu sendiri. Dari sisi fiqih kita harus mengetahui syarat dan rukun shalat dan beberapa hal lain terkait seperti cara berwudhu, waktu-waktu shalat dan sejenisnya. Terminologi shalat ini sendiri adalah:

أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ مُفْتَتِحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتِمَةٌ بِا التَّسْلِيْمِ بِشَرَاءِطَ مَخْصُوصَةٍ

Artinya : “Ibadah yang terdiri dari beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat dan rukun tertentu”

Sementara dari sisi hakikat, shalat memiliki dimensi ibadah rohani yang di dalamnya berisi doa-doa untuk mendatangkan ketenangan dan ketentraman jiwa. Allah berfirman:

وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ١٠٣

Artinya : “Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. At-Taubah: 103).

Selain berbuah ketenangan jiwa, shalat juga akan membuahkan ketentraman bagi orang lain. Kenapa? Karena orang yang melakukan shalat dengan benar akan membuahkan komitmen untuk tidak berbuat hal yang keji dan mungkar. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabut ayat 45:

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ ٤٥

Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain)”.

Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah.

Berkaca pada ayat ini, tampak jelas ibadah shalat memiliki kaitan dengan “tanha ‘anil fakhsya wal munkar (gerakan mencegah segenap perbuatan keji yang merusak dan berbagai bentuk kemungkaran). Dengan kata lain, sholat yang sempurna dapat membentuk pribadi yang bersih serta memiliki kekuatan memperbaiki kondisi sosial dalam kerangka besar fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan).

Namun batasan shalat seperti ini tampaknya masih kurang diserap maknanya oleh masyarakat kita. Berkembang suburnya budaya korupsi, kolusi, kekerasan, kezaliman, dan lain sebagainya merupakan sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan jika mengingat penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Keadaan ini membuktikan bahwa ibadah shalat (barangkali juga ibadah-ibadah yang lainnya) hanya dipandang sebagai ritual dan formalitas belaka; tidak ada kaitannya dengan masyarakat dan lingkungan hidup manusia.

Agama Islam diturunkan untuk membentuk manusia yang sadar akan jati dirinya sebagai seorang hamba sekaligus sebagai agama yang menjamin kemaslahatan hidup manusia itu sendiri. Kualitas keimanan dalam Islam selalu dikaitkan dengan amal shalih, sholat dilekatkan dengan mencegah perbuatan keji dan mungkar, puasa beriringan dengan spirit peka terhadap sesama manusia, zakat bertalian dengan kesadaran akan hak-hak fakir miskin, haji dengan spirit kesetaraan manusia dan seterusnya.

Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah.

Oleh sebab itu, dengan semangat Isra’ Mi'raj tahun ini dan dalam rangka menghadapi ramadhan marilah kita menjadikan sholat sebagai spirit utama untuk membentuk pribadi muslim dalam berbagai segmen kehidupan ke arah yang lebih baik sehingga kita dapat memahami Islam secara Kaafah atau menyeluruh.

Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah subhanahu wata'ala Dengan demikian mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita semua, memberikan jalan taubat kepada kita semua serta menuntun kita dalam mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur di tengah-tengah negeri yang dilanda krisis ini. Dan juga semoga kita menjadi insan yang betul-betul menjalankan amanah sebagai khalifatullah fil ‘adhi, yang bertugas untuk menjaga kedamaian, perdamaian dan ketentraman. Amin Ya Rabbal Alamin.

Related Posts: