Khutbah Jumat: Merenungkan Masa Silam Untuk Menatap Masa Depan

“Menghimpun perbedaan itu lebih diutamakan ketimbang mengunggulkan salah satu dari yang lain”

Share :
Khutbah Jumat: Merenungkan Masa Silam Untuk Menatap Masa Depan
Artikel

Oleh: Prof. Dr. Oman Fathurahman, M.Hum 
(Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok)

 

Jakarta, www.istiqlal.or.id - Hadirin sidang Jumat yang berbahagia. Puji dan syukur mari kita panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wata'ala, Tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat tak terhingga untuk kita sekalian: nikmat kesehatan, nikmat kebahagiaan, nikmat berkeluarga, nikmat bertetangga, serta nikmat bermasyarakat sebagai bangsa yang damai, hidup berdampingan bersama saudara-saudara kita yang bahkan berbeda keyakinan dengan iman kita. Nikmat yang manusia tidak akan pernah mampu menghitungnya, dan kita hanya diajarkan untuk mensyukurinya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur'an Surat Ibrahim/14 ayat 7:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ ٧

Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (QS. Ibrahim/14 ayat 7)

Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasul yang telah mengajarkan kepada kita bagaimana menjadi insan yang lebih banyak memberikan manfaat kepada sesama, dan yang telah memberi tauladan kepada kita untuk selalu berbuat baik, bahkan kepada orang yang telah menyakiti kita sekalipun. Saat diminta berdoa untuk membalas kejahatan orang-orang musyrik misalnya, Rasul menjawab:

إِنِّي لَمْ أُبعَث لَعَّانًا وَإِنَّمَا بُعِثتُ رَحمَةً

Artinya : “Aku tidak diutus (sebagai Nabi) untuk menjadi tukang kutuk, melainkan untuk menjadi rahmat”.

Hadirin, sebagai khatib, saya berpesan, marilah kita selalu mencontoh akhlak Nabi itu dalam beragama, beramal serta dalam bermasyarakat, demi meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita kepada Allah subhanahu wata'ala sehingga dapat menunaikan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, aamiin.

Hadirin sidang Jumat rahimakumullah.

Dalam konteks penciptaan alam, dibanding makhluk lainnya, manusia adalah makhluk paling mulia. Para sufi menyebutnya sebagai insan kamil, manusia yang sempurna. Secara fisik, al-Quran menggambarkan kesempurnaan manusia dalam al-Qur'an Surat at-Tin/95 ayat 4:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ ٤

Artinya: "Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya." (QS. at-Tin/95 ayat 4)

Salah satu elemen kesempurnaan manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, termasuk malaikat sekalipun, adalah karena Allah anugerahkan akal untuk berfikir. Potensi akal ini memungkinkan manusia untuk selalu tumbuh berkembang, belajar dari pengalaman, menuju kualitas yang lebih baik. Dalam al-Quran, banyak ayat yang mengisyaratkan bahwa kemampuan berfikir manusia menjadi ukuran apakah ia adalah seorang yang memiliki kapasitas kemuliaan, atau sebaliknya seorang yang bebal akibat tidak mau berfikir dan belajar.

Hadirin sidang Jumat rahimakumullah.

Berfikir, evaluasi diri, dan belajar adalah kata-kata kunci yang dapat meningkatkan kadar ketakwaan seseorang. Dalam al-Quran, Allah pun menggandengkan salah satu pesan takwa dengan anjuran agar masing-masing jiwa mau selalu bertafakur, melakukan muhasabah, merenungkan segala hal yang pernah dialami di masa lalu, entah kebaikan atau keburukan, lalu menjadikannya sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan lain di masa depan. Allah Swt berfirman (QS. al-Hasyr/59 ayat 18):

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Hasyr/59 ayat 18)

Secara normatif, ayat ini sering ditafsirkan sebagai anjuran agar setiap jiwa melakukan refleksi atau muhasabah atas kehidupan di dunia, dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Namun, dalam konteks lain, ayat ini juga bisa dimaknai sebagai perlunya refleksi atas kebaikan dan keburukan sejarah masa lalu kehidupan umat manusia, untuk dijadikan sebagai pelajaran dalam menata kehidupan kita hari ini dan di masa depan.

Sebagai sebuah bangsa, Indonesia ini mewarisi peradaban panjang yang terbentuk melalui keragaman masyarakatnya yang amat majemuk, baik dari segi agama, budaya, etnis, bahkan keragaman bahasa dan aksara. Keragaman yang sangat tinggi itu dalam sejarahnya memang pernah menimbulkan gesekan, konflik akibat beragamnya klaim tafsir kebenaran, terutama kalau sudah menyangkut isu agama.

Dan, kita bersyukur bahwa rekaman sejarah masa lalu leluhur kita itu banyak tertulis dalam naskah-naskah kuno, yang kini kita warisi sebagai bagian dari khazanah warisan kebudayaan. Tinggal bagaimana akal budi kita merawat dan memanfaatkannya untuk membangun peradaban kita yang lebih baik di masa depan.

Hadirin sidang Jumat rahimakumullah.

Salah satu ingatan sejarah yang tercatat dalam naskah-naskah kuno adalah bagaimana masyarakat Muslim menyelesaikan sebuah konflik berlatar agama. Konflik berlatar atau atas nama agama semacam ini kerap terjadi, dan seolah terus terulang dalam sejarah umat manusia.

Untungnya, kita masih menyaksikan dan bahkan merasakan sendiri sikap keberagamaan yang umumnya tentram, aman, dan damai di kalangan masyarakat Muslim di Indonesia. Sejak sebelum Indonesia lahir, etnis masyarakat kita lebih beragam, bahasa pergaulan yang kita gunakan berjumlah puluhan, serta penafsiran dan pemahaman keagamaan antarsesama kita pun tidak selalu sejalan. Tetapi, sejauh ini kita mampu mengelolanya dengan baik. Kita meyakini bahwa perbedaan itu menjadi rahmat, bukan sebaliknya, menjadi musibah.

Sebagai umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kita sangat meyakini bahwa salah satu pesan moral kenabian adalah untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, bukan rahmat atau kebaikan untuk kelompok tertentu dan pemeluk agama tertentu saja, melainkan untuk siapa dan apapun yang ada di muka bumi ini, sebagaimana firman Allah dalam QS al-Anbiya/21 ayat 107 :

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ ١٠٧

Artinya: "Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam." (QS al-Anbiya/21 ayat 107)

Hadirin yang berbahagia. Bukti-bukti sejarah yang sampai kepada kita mencatat bahwa para pendakwah Islam yang datang ke bumi Nusantara ini didominasi oleh para sufi, para ahli ilmu hakikat, dan para ulama yang sering menekankan pada ajaran pembersihan jiwa (tahzib al-nafs) dalam dakwah-dakwahnya. Mereka adalah para sufi, ahli tasawuf, dan sekaligus juga aktifis sosial, ulama istana, dan bahkan pejuang melawan kolonialisme dan ketidakadilan.

Jika mendengar kata tasawuf, mungkin fikiran sebagian kita akan langsung tertuju pada orang-orang sufi yang digambarkan lebih mementingkan urusan ukhrawi, uzlah menjauhkan diri dari urusan duniawi, serta tidak mau tahu apapun yang terjadi, karena lebih sibuk bercengkrama serta berasyik maksyuk dengan sang Khaliq semata.

Pemahaman tentang sufi seperti itu tentu saja tidak tepat dalam konteks masa lalu Indonesia. Ajaran tasawuf yang dibawa oleh para pendakwah Islam Nusantara, tidaklah seperti yang digambarkan itu, melainkan telah melalui sebuah proses penafsiran baru.

Mereka membawa ajaran Islam jalan tengah, atau Islam washatiyah, Islam yang di satu sisi menekankan pentingnya dekat dengan Sang Pencipta, tapi pada saat yang sama juga membawa semangat untuk berjuang bagi kepentingan umat, semangat bekerja keras, serta bersama-sama masyarakat lain berupaya mewujudkan keadilan. Para sufi Islam Nusantara tidak menghindar dari masalah sosial kemasyarakatan, mereka justru berusaha turut menyelesaikan masalah di masyarakat.

Kita niscaya pernah mendengar bahwa Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf Singkel di Aceh adalah para sufi, sekaligus ulama-ulama istana abad ke-17 yang berperan ganda sebagai penulis karya-karya keislaman dan penyangga urusan-urusan sosial ketatanegaraan. Demikian pula Syekh Yusuf Makasar, Syekh Abdussamad Palembang, Syekh Nawawi Banten, dan para ulama generasi lebih mutakhir semisal Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari, Hamka, dan masih banyak lagi namanama lain yang patut disebut.

Mereka semua adalah simpul-simpul lahirnya karakter keberagamaan Islam Muslim Nusantara yang memilih jalan tengah (washatiyah), mendakwahkan nilai-nilai Islam universal, seraya menafsirkan cara mempraktekkan serta mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam tata kehidupan masyarakat yang plural, beragam, dan multietnis seperti Indonesia ini.

Mereka umumnya meyakini bahwa menjadi Muslim bukan semata urusan beragama, tapi juga berkebudayaan dan bersosial, memberikan kontribusi terhadap pembangunan peradaban umat manusia yang ideal.

Hadirin sidang Jumat yang berbahagia.

Sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk, tentu kita tidak mungkin menghindar dari perbedaan di antara sesama kita. Toh al-Quran juga sudah menjelaskan bahwa umat manusia ini memang terdiri dari beragam suku, etnis, dan bangsa yang berbeda-beda. Allah menjelaskan dalam al-Qur'an Surat al-Hujurat/49 ayat 13:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣

Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti." (QS. al-Hujurat/49 ayat 13)

Hal yang paling penting dilakukan adalah bagaimana menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada di sekeliling kita tersebut. Dalam salah satu karya tasawufnya yang berjudul Ithaf al-dzaki (persembahan bagi jiwa yang cerdas), Syekh Ibrahim al-Kurani, seorang ulama besar Madinah abad ke-17, dan guru bagi sejumlah ulama Nusantara, berkata bahwa:

الْجَمعُ مُقَدَّمٌ عَلَى التَّرْ جِيْحِ

Artinya : “Menghimpun perbedaan itu lebih diutamakan ketimbang mengunggulkan salah satu dari yang lain”

Akhirnya, marilah kita renungkan firman Allah dalam alQur'an Surat al-Baqarah/2 ayat 143 yang berbunyi:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ

Artinya: "Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan40) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu..." (QS. al-Baqarah/2 ayat 143)

Demikianlah, semoga dengan menjadi umat yang memilih jalan washatiyah, kita dapat semakin banyak memberikan rahmat bagi sekeliling kita. 

Related Posts: