Khutbah Jumat: Menjaga Keseimbangan Diri dengan Muhasabatun Nafs
Hanya dengan muhasabah yang dapat menjaga keseimbangan diri, baik dalam kondisi sempit maupun saat lapang kehidupan kita. Karenanya, mari menjadi diri yang lebih baik, pemimpin yang lebih bermanfaat dan teman yang lebih menginspiratif.
Oleh : KH. Muhammad Cholil Nafis, Lc., MA, Ph D.
(Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI)
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Hadirin jamaah Jum'at yang dirahmati Allah SWT. Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah subhanahu wata'ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya berupa iman dan Islam serta ma’unah-Nya, sehingga pada kesempatan kali ini kita dapat menjalankan ibadah Jum’at berjemaah di Masji Istiqlal yang penuh barokah. Mudah-mudahan amal dan ibadah ini menjadi amal baik kita dan kelak menjadi bekal untuk menghadap keharibaan-Nya. Amin yaa Rabbal’alamin.
Shalawat serta salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw, yang telah menunjukkan manusia ke jalan kebenaran nan lurus, yaitu agama Islam yang diridhai oleh Allah subhanahu wata'ala.
Hadirin jamaah Jumah yang dirahmati Allah SWT. Akhir tahun dan menyambut tahun baru menjadi salah satu momentum bagi semua masyarakat untuk muhasabah (evaluasi diri). Yaitu bertafakkur, merenungi, dan mengoreksi semua hal yang telah dilakukan pada hari-hari kemarin dan apa yang mesti direncanakan di tahun depan. Hal ini menjadi penting yang tidak boleh ditinggalkan guna memperbaiki amal dan karya tahun selanjutnya.
Sebab, dalam muhasabah (intropeksi), seseorang sedang mengoreksi dirinya sendiri perihal apa saja yang mereka lakukan selama satu tahun. Mereka juga “membaca” perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam mengisi hidup setiap harinya. Akan tetapi, selain dilakukan di acara tahunan, intropeksi seharusnya juga dilakukan dalam setiap hari, bahkan setiap waktu akan melaksanakan dan setelah melaksanakan kegiatan.
Sahabat Umar bin Khattab radhiallahu anhu pernah mengingatkan agar kita bermuhasabalah atas diri sendiri sebelum kita dihisab pada hari kiamat kelak, karena dengan muhasabah tersebut dapat lebih ringan menghadapi hisab kelak. Untuk itu, beliau berwasiat agar kita bersiap diri dengan amal shalih.
قال عمر رضي الله عنه: " حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا، وزنوا أنفسكم قبل أن توزنوا، فإنَّهُ أهـون عليكم في الحساب غدا، أن تحاسبوا أنفسكم اليوم، وتز ينوا للعرض الاكبر، يومإذ تعرضون لا تخفى منكم خافية." رواه ابن أبي الد نيا في" محا سبة النفس" ص
Artinya: Umar bin Khattab ra. berkata: “Bermuhasabahlah atas diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab pada hari kiamat, dan timbanglah amal kalian di dunia ini sebelum nanti ditimbang pada hari kiamat. Sesungguhnya kalian akan merasa ringan dengan bermuhasabah pada hari ini untuk menghadapi hisab kelak. Dan berhiaslah kalian (dengan amal sholeh) untuk menghadapi hari pameran agung. Pada hari itu perbuatan kalian akan ditampilkan tidak ada yang tersembunyi sedikitpun.”
Ada dua waktu untuk melakukan muhasabah. Pertama sebelum melakukan aktivitas dan yang kedua setelah melakukan aktivitas. Sebelum melaksanakan pekerjaan bahkan saat merencanakan sebaiknya kita mengetahui semua halnya. Minimal harus sudah terjawab pertanyaan, untuk apakah hal itu dilakukan? Dan apakah perbuatan itu dapat mengubah diri ke arah yang lebih baik dan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata'ala?
Sekiranya pertanyaan itu bisa terjawab dan dapat dipastikan membawa dampak positif dan kebaikan maka laksanakannlah dan tuntaskanlah semua pekerjaan itu. Jika perkerjaan itu membawa dampak negatif dan dapat menjauhkan diri dari ridha Allah subhanahu wata'ala maka tinggalkanlah perbuatan itu.
Adapun muhasabah setelah melakukan aktivitas adalah mengadili diri sendiri. Pada saat merenung tentang diri itulah kita flashback ke belakang untuk meninjau kembali episode dari kehidupan yang telah lewat. Ketika proses muhasabah berlangsung, maka hati nurani memegang peranan penting dan mengambil posisi sebagai hakim atau penilai bagi perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan. Muncullah rasa kepuasan dan kebahagiaan manakala mengingat perbuatan baik yang telah dilakukan, namun acapkali muncul rasa kesedihan dan penyesalan manakala mengingat perbuatan buruk yang dilakukan.
Peran hati nurani tersebut dinamakan retrospektif (penilaian moral terhadap perbuatan yang telah dilakukan). Dari muhasabah akan muncul kesadaran diri. Kesadaran diri merupakan titik tolak perubahan yang mendasar bagi kehidupan manusia. Setelah kesadaran diri muncul pada diri seseorang lalu sebuah tujuan hidup biasanya akan terbentang dengan jelas, muncul pula sebuah tekad untuk mewujudkannya. Lalu dibuatlah perencanaan tentang apaapa yang mesti dilakukan ke depan sebagai persiapan dan perbekalan menuju kesuksesan hari kemudian.
Hadirin jamaah Jum’ah rahimakumullah. Ada dua hal penting yang harus kita introspeksi, yaitu penggunaan waktu yang efektif dan fenomena alam yang banyak musibah. Momentum akhir tahun dan menyongsong tahun baru adalah putaran waktu untuk sarana muhasabah, apakah sudah efektif kita menggunakan waktu atau waktu-waktu kita terbuang oleh hal-hal yang tak bermanfaat.
Kini media sosial adalah godaan yang paling kuat untuk membuang-buang waktu secara sia-sia bahkan menjadi ladang dosa. Para ulama dan para pahlawan itu hebat bukan karena hidupnya panjang ratusan tahun tetapi karena pandai memanfaatkan waktu untuk kebaikan umat manusia semasa hidupnya dan generasi berikutnya. Seperti Imam Syafi’i sebagai pendiri mazhab terus dikenang dan karya-karyanya terus hidup dan dipelajari hanya umur 54 tahun, yaitu lahir tahun 150 H dan wafat tahun 204 H.
Betapa pentingnya penggunaan waktu yang efektif sehingga Allah subhanahu wata'ala bersumpah demi waktu. Ada empat waktu dan nama surat dalam al-Qur’an yang dijadikan sumpah oleh Allah subhanahu wata'ala.
Pertama, Allah subhanahu wata'ala bersumpah demi waktu Fajar (Al-Fajr). Dalam sumpahnya Allah subhanahu wata'ala memberikan waktu kepada manusia untuk digunakan sebanyak banyaknya untuk berpikir, merenung, dan merencanakan apa yang akan dilakukan selama hidupnya.
Kedua, Allah subhanahu wata'ala bersumpah demi waktu Dhuha (Al-Dhuha). Waktu Dhuha diibaratkan sebagai masa muda. Masa ketika manusia berada dalam puncak fisik yang kuat dan kokoh. Dalam Surah Ad-Duha, yang isinya perintah dari Allah agar manusia di usia produktifnya berkarya, berkarya dan beramal shaleh.
Ketiga, Allah subhanahu wata'ala bersumpah demi waktu ‘Ashar (Al-‘Ashr). Dalam surah itu Allah subhanahu wata'ala menegaskan seluruh manusia merugi bila mereka menyia-nyiakan masa muda. Karena waktu ‘Ashar itu hampir selesai jam kerja dimana manusia akan pulang dan akan masuk usia pensiun. Rata-rata manusia merugi kecuali orang-oranng yang beriman dan beramal shalih.
Keempat, Allah subhanahu wata'ala bersumpah demi waktu malam (Al-Lail). Waktu malam adalah waktu gelap yang disediakan utk tidur dan istirahat. Dalam kehidupan manusia bagai waktu kematian. Biasanya orang yang tidur nyenyak karena kondisi tubuh yang prima dan aktivitas keseharian menyenangkan. Begitulah kematian manusia akan menikmati di alam kubur dan kelak di akhirat masuk syurga dengan ridha Allah subhanahu wata'ala karena beramal baik di dunia.
Apa muhasabah yang hendak disampaikan, bahwa secara filosofis ketika manusia di waktu Fajar, di masa awal kehidupannya bisa merencanankan dengan baik, di waktu Dhuha pada masa produktif berkarya dan bekerja untuk kebaikan orang banyak dan beramal shalih, di waktu Ashar atau usia senja menjadi masa di mana ia tidak akan merugi. Terakhir, di waktu malam atau sesudah meninggal, manusia itu akan dapat 'tidur' dengan nyenyak atau tenang.
Muhasabah kedua adalah fenomena musibah yang datang silih berganti di beberapa tempat di Indonesia, seperti gempa, longsor dan potensi sunami. Musibah yang datang silih berganti sekiranya dapat menjadi bahan introspeksi diri. Adakalanya musibah merupakan sebuah ujian dari Allah subhanahu wata'ala dan adakalanya pula musibah merupakan teguran atau bahkan laknat/adzab dari Allah subhanahu wata'ala. Musibah bisa menjadi peluang koreksi batin. Boleh jadi kesulitan itu bersumber dari diri sendiri karena kita sendiri yang mengundang permasalahan atau dosa-dosa yang menutup dari kasih sayang Allah subhanahu wata'ala.
Musibah kadang datang untuk memperingatkan kita, sedikit mencubit kita, agar segera tersadar dan kembali ke jalan Allah setelah beberapa waktu tersesat. Awalnya hanya cubitan kecil, jika kita tidak juga merasa, kemudian diingatkan dengan dipukul sedikit keras jika tidak terasa juga kemudian dipukul dengan tenaga yang lebih besar.
Bukankah kadang seseorang harus disentak atau ditendang agar tidak terperosok ke dalam jurang yang dalam. Karena sakit akibat jatuh ke dalam jurang jauh lebih fatal dibanding sakit akibat ditendang atau disentak untuk mengingatkan.
Kala musibah sebagai ujian yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya maka setiap ujian akan disesuaikan dengan tingkat ketakwaan seorang hamba tersebut. Sudah barang tentu manusia yang paling bertakwa akan diuji dengan ujian yang semakin berat sesuai dengan tingkatan dan kadar iman serta takwanya kepada Sang Pencipta.
Selain sebagai sebuah ujian, terkadang musibah merupakan teguran dari Allah subhanahu wata'ala atas perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang menjurus pada kemaksiatan atau kemungkaran. Bahkan yang lebih mengerikan apabila musibah tersebut merupakan suatu adzab yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang maksiat, ingkar dan kufur kepada Allah subhanahu wata'ala. Dalam surat Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ٤١
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS. Ar-Rum [30] ayat 41)
Tak ada cara yang lebih dalam menghadapi musibah kecuali dengan muhasabah diri tentang segala perbuatan yang mengandung dosa dan merusak pada tatanan alam semesta. Meskipun semua musibah pasti datangnya dari Allah subhanahu wata'ala, namun semua itu ada sebab dan musabbabnya. Hukum alam dan kausalitas sebuah keniscayaan yang Allah subhanahu wata'ala ciptakan untuk hamba-Nya.
Ada dua cara untuk menghindari adzab Allah subhanahu wata'ala. sebagaimana dalam firman-Nya:
وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَاَنْتَ فِيْهِمْۚ وَمَا كَانَ اللّٰهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ ٣٣
Artinya : “Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu (hai Muhammad, pent) berada diantara mereka, dan Allah tidak akan mengazab mereka sedang (mereka) senantiasa beristighfar (minta ampun kepada Allah)” (QS. Al-Anfaal: 33).
Ayat ini menerangkan kepada kita tentang dua sebab yang melindungi umat Islam dari datangnya bencana dan azab Allah, yaitu keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tengah umat Islam secara khusus dan umat manusia secara umum dan Istighfar (permohonan ampunan) kepada Allah subhanahu wata'ala atas segala dosa dan maksiat.
Jadi pelindung yang pertama sudah dicabut oleh Allah subhanahu wata'ala karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah wafat. Sedangkan pelindung kedua masih terus ada selama umat Islam membaca istighfar seraya mohon ampun kepada Allah subhanahu wata'ala.
Semua tergantung pada introspeksi kita pada diri sendiri. Apakah musibah yang turun karena kami banyak berbuat maksiat dan dosa atau turun musibah di saat kita banyak bersyukur dan taat kepada perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya? Diri kita sendiri yang paling mengeetahuinya.
Mulai sekarang mari kita mengubah persepsi. Apakah yang akan menimpa kita, entah nikmat atau musibah, kita hadapi dengan ikhlas, ridha karena semuanya adalah kasih sayang dari Allah subhanahu wata'ala untuk meninggikan derajat kita di hadapan-Nya. Dan mari kita syukuri dengan sikap sabar dan syukur. Bersyukur dengan semua potensi di jasad dan jiwa kita yang Allah subhanahu wata'ala karuniakan, dengan mengabdi sebaik-baiknya, bertakwa kepada Allah subhanahu wata'ala dengan takwa yang sebenarnya.
Hadirin, jama’ah Jum’at rahimakumullah. Di akhir tahun 2022 dan menyongsong tahun 2023 mari kita muhasabah terhadap apa yang telah kita perbuat dan resolusi apa yang hendak kita realisasikan.
Hanya dengan muhasabah yang dapat menjaga keseimbangan diri, baik dalam kondisi sempit maupun saat lapang kehidupan kita. Karenanya, khatib mengajak Jamaah sekalian menjadi diri yang lebih baik, pemimpin yang lebih bermanfaat dan teman yang lebih menginspiratif.
Pertama, mari bersama-sama kita meningkatkan pemahaman terhadap Agama Islam dengan mempelajari AlQuran dan Al-Sunnah dari guru yang tepat.
Kedua, mari kita tegakkan shalat. Sebab, shalat itu bukan untuk Allah subhanahu wata'ala. melainkan untuk memperbaiki sel-sel yang ada di tubuh kita agar menjadi semakin baik dan dipenuhi dengan jiwa-jiwa yang tulus sehingga dapat mencegah kemunkaran dan perbuatan keji.
Ketiga, keluarkan zakat, perbanyak infak, dan sedekah, agar Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayah kepada kita, serta dijauhkan dari segala mara bahaya dan musibah.
Mudah-mudah seluruh upaya dan ijtihad kita diberi petunjuk oleh Allah subhanahu wata'ala. Dan senantiasa selalu tertanam dalam diri kita apapun yang dilakukan semata-mata ikhlas dan mengharap ridha Allah subhanahu wata'ala.