Khutbah Jumat: Menata Spiritualitas Menuju Kesuksesan Dunia Akhirat
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Oleh: KH. Bukhori Sail Attahiry Lc, MA
(Ketua Bidang Penyelenggaraan Peribadatan BPMI)
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Jamaah Jumat yang dirahmati Allah. Segala puji bagi Allah subhanahu wata'ala yang telah memberikan kita semua nikmat Islam, iman, dan kesehatan, sehingga masih bisa mendekatkan diri kepada-Nya melalui ibadah wajib shalat Jumat, serta bisa merasakan indahnya momentum tahun baru sebagaimana yang akan kita hadapi saat ini.
Shalawat dan salam mudah-mudahan terus mengalir kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, nabi terakhir yang Allah utus sebagai rahmat bagi alam semesta. Selanjutnya, khatib berwasiat kepada diri khatib sendiri, keluarga, dan semua jamaah yang hadir pada pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Istiqlal yang megah ini, untuk selalu meningkatkan ketaatan, dan semangat dalam melaksanakan ketaatan dalam beribadah, serta semangat dalam meninggalkan setiap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah, khususnya pada momentum tahun baru ini. Jangan hanya tahun yang baru, namun harus kita tumbuhkan semangat baru dalam beribadah dan melakukan setiap kebajikan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
Islam tidak melarang hambanya untuk mengekspresikan kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan. Akan tetapi Islam mengajarkan ekspresi kegembiraan tidak boleh membuat seseorang lupa pada Allah subhanahu wata'ala. Kegembiraan juga tidak boleh di ekspresikan dengan melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran Islam; seperti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan syariat Islam, atau menghambur hamburkan dana untuk sesuatu yang menyenangkan semata, tidak ada manfaat yang dapat dipetik, hanya mengikuti hawa nafsu. Karena hal itu termasuk tabdzir:
إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا اِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ
Oleh karena itu, pada setiap malam pergantian tahun baik tahun Hijriyah maupun tahun Miladiyah, Masjid Istiqlal senantiasa menyelenggarakan Malam Muhasabah dan Qiyamullail, dipimpin langsung oleh Imam Besar Masjid Istiqlal serta para Imam dan Mu’adzin, mengajak umat Islam memanfaatkan kesempatan tersebut untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, memohon hidayah dan taufiq-Nya. Ini merupakan ekspresi kegembiaraan seorang Muslim, yang senantiasa berupaya mendekat kepada Allah subhanahu wata'ala baik pada waktu gembira maupun sedih.
Spirit tahun baru tahun bagi umat Islam dijadikan momentum untuk memotivasi diri sendiri dan umat, untuk menumbuhkan semangat semangat baru untuk semakin meningkatkan kualitas ibadah dan kebajikan, sebab orang muslim sejati adalah orang yang harinya lebih baik dari harihari sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits:
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مٍثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
Artinya, “Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Dan, barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka)” (HR. Al-Hakim).
Hadits ini memberikan pengertian perihal pentingnya meningkatkan semangat baru dalam menjalani hari-hari yang baru, termasuk juga dengan tahun baru. Jika hari tahun baru ini lebih baik dari hari dan tahun sebelumnya, maka ia tergolong orang-orang yang beruntung. Jika sama, maka sungguh hanya kerugian yang ia dapatkan. Dan, jika lebih buruk, maka akan menjadi hari dan tahun yang dilaknat karena tidak bisa mengambil manfaat dan keberkahan di dalamnya.
Jamaah Jum’ah yang berbahagia. Dalam riwayat yang lain disebutkan, bahwa orang-orang yang harinya justru lebih buruk dari hari-hari sebelumnya, maka tidak ada kebaikan selain kematian untuknya. Riwayat ini sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdurrahman as-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul Hasanah, juz I, halaman 631. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ اِسْتَوَى يَوْمَاهُ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ وَمَنْ كَانَ آَخِرُ يَوْمَيْهِ شَرًّا فَهُوَ مَلْعُوْنٌ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ فِي الزِّيَادَةِ فَهُوَ فِي النُّقْصَانِ وَمَنْ كَانَ فِي النُّقْصَانِ فَالْمَوْتُ خَيْرٌ لَهُ وَمَنْ اِشْتَاقَ إِلَى الْجَنَّةِ سَارَعَ فِي الْخَيْرَا تِ
Artinya, “Barangsiapa yang kedua harinya (saat ini dan kemarin) sama, maka ia (tergolong) orang yang rugi. Barangsiapa yang dua hari terakhirnya lebih buruk, maka ia terlaknat. Barangsiapa yang tidak berada pada peningkatan, maka ia berada pada defisit . Barang siapa yang berada pada keadaan defisit, maka kematian lebih baik baginya. Dan, barangsiapa yang merindukan surga, maka ia akan cepat-cepat dalam melakukan kebaikan” (HR. ad-Dailami).
Syekh Nuruddin Al-Harawi Al-Qari (wafat 1014 H) dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, juz IV, halaman 352, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ziyadah (peningkatan-penambahan) pada hadits di atas adalah dengan bertambahnya ilmu, ibadah, dan segala bentuk kebaikan. Bukan bertambahnya dunia dan jabatan. Sebab, keberuntungan selalu berpihak pada orang yang meningkatkan ketaatan dan kebaikannya, bukan dunia dan jabatannya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah. Berkaitan hal ini, Allah subhanahu wata'ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk selalu introspeksi perihal apa yang akan menjadi bekalnya menuju akhirat. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr : 18).
Imam al-Qusyairi (wafat 465 H) dalam kitab tafsir Lathaiful Isyarat atau Tafsir Al-Qusyairi menjelaskan bahwa ayat di atas memiliki dua arti ketakwaan, yaitu: meningkatkan ketakwaan dengan cara memikirkan balasan yang akan didapatkan kelak di akhirat atas perbuatan baik dan buruk yang dilakukan di dunia; meningkatkan ketakwaan dengan cara mawas diri dan introspeksi, yaitu dengan memaksimalkan waktunya untuk menambah ketaatan. Dengan kata lain, menumbuhkan semangat baru di hari-hari baru yang dihadapi oleh setiap orang.
Cara menumbuhkan semangat baru di hari yang baru adalah dengan memperbaiki hari-harinya yang baru dengan ketaatan dan kebajikan. Orang tidak bisa memperbaiki harinya kecuali dengan cara introspeksi atas apa yang dilakukan di harihari sebelumnya. Demikian khutbah menumbuhkan semangat baru di tahun baru pada siang hari ini.
Semoga bermanfaat dan membawa berkah bagi kita semua, serta bisa menjadi penyebab untuk meningkatkan ibadah, kebajikan, ketakwaan, keimanan, dan menjauhi segala larangan. Jamaah Jum’ah yang dimuliakan Allah. Hari demi hari yang kita titi, harus menuju mendekat kepada Allah subhanahu wata'ala dengan cara meraih hidayah dan taufiq Allah subhanahu wata'ala. Agar semakin hari semakin berkualitas amal shalih kita dan hidup kita semakin dipenuhi amal shalih dan kita menjadi orang-orang shalih di mata Allah subhanahu wata'ala. Jika demikian maka Allah akan berikan kepada kita semua kehidupan yang baik, baik di dunia maupun di akhirat. Mari kita sima’ firman Allah subhanahu wata'ala Surat An-Nahl ayat 97 :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ٩٧
Artinya, “Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl : 97).
Satu poin lagi yang juga sangat penting, adalah kita yakinkan bahwa kebaikan kebaikan yang kita lakukan itu benar benar baik, jangan sampai kita termasuk orang orang yang merasa dirinya melaksanakan kebaikan, namun ternyata dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala:
اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا ١٠٤
Artinya, “(Yaitu) orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. al-Kahfi : 104).