Khutbah Jumat: Menanamkan Karakter Moderasi Pada Generasi Bangsa Sejak Dini
Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. Al-Anbiy?' [21]:107)
(Intisari Khutbah Jum’at, 06 Muharram 1446 H / 12 Juli 2024 M)
Oleh : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA
(Guru Besar Univiversitas Ibnu Khaldun - Bogor)
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Khuthbah Jum’at dengan tema "Menanamkan Karakter Moderasi pada Generasi Bangsa Sejak Dini" ini ingin mengingatkan dan menyegarkan kembali komitrmen dan tanggung jawab moral kita untuk melahirkan generasi bangsa yang memiliki karakter moderasi, yakni karakter yang tawasuth (pertengahan), tawazun (seimbang), ta’awun (tolong menolong), musawa (setara), tawathun (mencinta nanah air), al-ishlah (damai), i’tidal (adl), dan musyawarah (demokratis).
Menanamkan karakter moderasi pada generasi banga sejak dini ini diperlukan dengan beberapa alasan sebagai berikut.
Pertama, bahwa menanamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini adalah merupakan salah satu perintah Allah subhanahu wata'ala dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia serta mewujudkan sebuah tatanam kehidupan yang rukun, aman, dan damai.
Allah subhanahu wata'ala mengingatkan bahwa keanekaragaman adalah merupakan sunnatullah, hukum Allah bahkan taqdir Allah subhanahu wata'ala.
Dengan pancaindra, akal dan hati nuraninya itu manusia diperintahkan oleh Allah untuk mengelola takdirnya yang beraneka ragam itu melalui cara mempertemukan titik persamaanya dan menghindari titik perbedaannya.
Proses mempertemukan ini dalam bahasa al-Qur’an dikenal dengan istilah al-ta'arruf, yakni saling mengenal satu sama lain, untuk kemudian membangun kerjasama, kemitraan dan kolaborasi sehingga hasilnya dapat dirasakan seara maksimal. Allah subhanahu wata'ala menyatakan dalam firman-Nya:
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti." (QS. Al-Ḥujurāt [49]:13)
Kedua, bahwa menanamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini adalah merupakan salah satu bentuk meniru sebagian dari sifat perbuatan Allah subhanahu wata'ala.
Imam al-Ghazali menyebutnya sebagai al-takhalluq bi shifat Allah ala thaaqah al-basyariyah (berakhlak dengan sifat Allah berdasarkan kemampuan manusia).
Berdasarkan informasi Al-Qur’an, Allah subhanahu wata'ala lah yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya; air, api, udara dan tanah, tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan sebagainya.
Pada setiap ciptaan-Nya itu terdapat manhaj (sistem atau aturan), sunnatullah (aturan Allah), maqadir, manazil dan sebagainya (QS. Yunus/10: 5).
Pada ruang angkasa terdapat bintang, bulan, matahari, planit-planit, dan benda-benda lainnya. Semua benda ciptaan Allah subhanahu wata'ala itu ditundukkan oleh-Nya kepada manusia agar dapat diteliti, dan dimanfaatkan untuk kehidupannya (QS. Ibrahim/14: 32-33).
Sifat yang ditunjukkan Allah subhanahu wata'ala dalam mengelola ciptaan-Nya yang amat heterogeen itu, hendaknya dijadikan inspirasi bagi kita agar mampu mengelola keanekaragaman dalam kehidupan yang kita alami.
Mulai dari mengelola keanekaragaman sifat dan karakter angota keluarga; dilanjutkan dengan kemampuan mengelola keadaan masyarakat, bangsa dan negara, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
تَبٰرَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُۖ وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌۙ
Artinya: "Maha Berkah Zat yang menguasai (segala) kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu," (QS. Al-Mulk [67]:1)
ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ
Artinya: "yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun." (QS. Al-Mulk [67]:2)
Ketiga, kita bersyukur kepada Allah subhanahu wata'ala, karena para founding father (para pendahulu) bangsa kita telah meletakkan landasan yang kokoh guna menanamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini. Yaitu melalui falsafah Pancasila dan prinsip hidup bhineka tunggal ika (the unity in divercity).
Dengan prinsip ini, maka kita mampu mengelola secara arif dan bijaksana keanekaragaman dan kemajemukan berbagai hal yang ada di negara kita, yaitu kemajemukan dari segi agama, etnis, bahasa, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Sebagian pengamat sosial mengatakan Indonesia is the miracle county in the world (Indonesia adalah negara mukjizat di dunia).
Hal ini terjadi antara lain karena kemampuan bangsa kita dalam mengelola keanekaragaman yang sangat kompleks dengan keadaan yang membanggakan.
Agama memberi petunjuk dalam menanamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini sebagai berikut.
Pertama, menanamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini dapat dilakukan dengan cara menanamkan rasa syukur atas segenap ciptaan Allah subhanahu wata'ala.
Keanekaragaman harus dipandang sebagai sunatullah yang harus disyukuri, yaitu dengan cara mengelola, mengkolaborasi, dan mensinergikannya.
Suatu hidangan makanan dan minuman yang lezat, membangkitkan selera dan nyehatkan tubuh, dan membuat orang yang mengkonsumsinya ketagihan, adalah karena kemampuan juru masak atau kokinya dalam meramu dan meracik bahan makanan, minuman dan lainnya yang serasi dan sesuai dengan bumbu dan rempah-rempahnya, yang didasarkan pada rasa ingin membahagiakan orang yang menyantapnya.
Femonema kemampuan meramu, mengelola dan mengkolaborasi yang kita jumpai dalam hal makanan itu dapat kita gunakan sebagai inspirasi dalam mengelola kemajemukan sifat, karakter, adat istiadat, budaya, etnis, agama, status sosial dan lainnya dalam mewujudkan moderasi pada generasi bangsa sejak dini, seningga melahirkan sebuah tatanan, pola dan model kehidupan yang membahagiakan seluruh umat manusia.
Inilah cara yang kreatif dan inovatif dalam mensyukuri ciptaan Allah subhanahu wata'ala. Dalam hubungan ini Allah subhanahu wata'ala berfirman:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Artinya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.” (QS. Ibrāhīm [14]:7)
Kedua, menamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini dapat dilakukan dengan menanmakan sikap dan pandangan bahwa semua makhluk ciptaan Allah subhanahu wata'ala, mulai dari yang sekecil-kecilnya, seperti zat renik, kutu, cacing, hingga kepada alam jagat raya atau sistem tata surya dengan segenap planit dan benda-benda ruang angkasa, atau lautan yang luas dengan aneka macam ikan dan mutiara serta lainnya yang ada di dalamnya adalah sesuatu yang amat berharga.
Sinar matahari dibutuhkan sebagai zat potosintesis untuk tumbuh-tumbuhan dan makhluk lainnya di bumi, kini sinar matahari dapat digunakan sebagai energi listrik.
Demikian pula air hujan dari langit dibutuhkan untuk membelah dan menyuburkan tanaman; berbagai macam tumbuh-tumbahan dan tanaman yang diciptakan Allah berguna sebagai bahan makanan, minuman, obat-obatan, bahan pembuat kertas, bahan pakaian, dan lain sebagainya.
Demikian pula ciptaan Allah SWT berupa bumi yang di dalam terdapat gunung, hutan dan lainnya menyimpan bahan-bahan kebutuhan manusia untuk membangun rumah, jembatan, bahan tambang, logam mulia, dan lain sebagainya.
Untuk itu hubungan dengan sesama makhluk ciptaan Allah mutlak diperlukan, karena didalam hikmah dan manfaat dari Allah yang dibutuhkan untuk mendukung berbagai kebutuhan hidup manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
Artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal," (QS. Āli ‘Imrān [3]:190)
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: "(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari azab neraka." (QS. Āli ‘Imrān [3]:191)
Ketiga, menamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini dapat dilakukan dengan memiliki pandangan tentang adanya ekosistem suatu kehidupan yang harus dijaga.
Selain harus menjalin hubungan yang harmonis dengan Allah subhanahu wata'ala sebagai yang menciptakan dan memberikan nikmat yang tidak ada batasnya kepada kita, juga harus menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama manusia dan alam jagat raya.
Seorang terkemuka, dan dikenal sebagai ahli sejarah dan sosiologi Islam yang hidup abad ke-14 M, di Tunisia, yaitu Ibn Khaldun, dalam bukunya Muqaddimah (hl.145) pernah mengatakan, bahwa dalam rangka memunuhi kebutuhan dan menjaga kelangsungan hidup manusia, berupa sandang, pangan, papan dan sebagainya, manusia yang satu dan lainnya saling membutuhkan.
Andaikan saja manusia memakan gandum yang belum diolah pun ia membutuhkan para petani yang mengolah sawah, penyedia bibit, penanam, penyedia irigasi pengairan, peralatan pertanian dan sebagainya.
Menanamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini diharapkan dapat membangun hubungan yang harmomis dan kokoh dengan sesama manusia. Dan hubungan yang harmonis dengan sesama manusia ini diharapkan dapat menyelamatkan manusia dari kesengsaraan hidupnya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ اَيْنَ مَا ثُقِفُوْٓا اِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ اللّٰهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا يَكْفُرُوْنَ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ وَيَقْتُلُوْنَ الْاَنْبِۢيَاۤءَ بِغَيْرِ حَقٍّۗ ذٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوْا يَعْتَدُوْنَ
Artinya: "Kehinaan ditimpakan kepada mereka di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia. Mereka pasti mendapat murka dari Allah dan kesengsaraan ditimpakan kepada mereka. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa hak (alasan yang benar). Yang demikian itu karena mereka durhaka dan melampaui batas." (QS. Āli ‘Imrān [3]:112)
Keempat, menamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini dapat dilakukan dengan melaksanakan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah dipraktekkan dan telah diakui keberhasilannya yang oleh dunia, yaitu ketika Rasulullah menyelesaikan pertikaian antara kaum Khazraj dan A’us serta mendamaikan dan menyatukan penduduk Madinah yang majemuk dari segi suku, agama, dan lainnya melalui Mitsaq al-Madinah (Piagam Madinah).
Antara lain keharusan untuk saling menghormati dan toleransi dalam menjalankan agama, saling melindungi dan tolong menolong dari berbagai gangguan dan ancaman; serta dengan mengikuti petunjuk-petunjuknya yang terdapat dalam hadis-hadisnya.
Dalam sirahnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan sikap yang mengutamakan tujuan jangka panjang dan lebih besar, daripada tujuan jangka pendek yang sesaat dan sempit; yakni tujuan untuk menciptakan perdamaian dan persaudaraan antara sesama manusia sebagai landasan untuk membangun ilmu, kebudayaan dan peradaban yang agung.
Hal ini ditunjukkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mema’afkan penduduk Thaif yang menistakannya, sambil mendo’akan agar mereka diberikan hidayah dari Allah subhanahu wata'ala; ditujukkan pula dengan cara memberi ma’af dan tidak menghukum seorang wanita di Khaibar yang meracun dirinya dan sahabatnya Bisyir bin Barra bi Ma’rur hingga tewas, sambil mendo’akan agar wanita itu diberi hidayah; dan ditunjukannya pula dengan memberikan pengampunan masal kepada kaum kafir Quraisy yang pernah memusuhi, mengintimidasi dan akan membunuhnya; pada saat Fath al-Makkah (Pengembalian Kota Mekkah).
Mudah-mudahan Allah subhanahu wata'ala, memberikan taufik dan hidayah-Nya, sehingga kita dapat mengamalkan ajaran-Nya yang agung dan mulia ini. Yakni menanamkan karakter moderasi pada generasi bangsa sejak dini dalam rangka mewujudkan rahmat bagi seluruh alam (QS. al-Anbiya/21: 107). Amin.