Khutbah Jumat: Memanfaatkan Peluang dalam Menggapai Keutamaan Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

Pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, karena ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya.

Share :
Khutbah Jumat: Memanfaatkan Peluang dalam Menggapai Keutamaan Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan
Artikel

Oleh : Prof. Dr. KH. Said Agil Husin Al-Munawar, MA

Jakarta, www.istiqlal.or.id - Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan. Salah satu di antaranya adalah  Lailatul Qadr, satu malam yang oleh Al-Qur'an disebut "lebih baik daripada seribu bulan", dan dalam hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dinyatakan bahwa datangnya pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.

Tetapi, apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni pada malam ketika turunnya Al-Qur'an lima belas abad yang lalu atau terjadi setiap bulan Ramadhan sepanjang tahun? Bagaimana kedatangannya, apakah setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya? Benarkah ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya, seperti membekunya air, heningnya malam dan menunduknya pepohonan, dan sebagainya? Serta masih banyak lagi pertanyaan yang sering muncul berkaitan dengan malam  Lailatul Qadr itu.

Yang pasti, dan ini harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan Al-Qur'an, bahwa "Ada suatu malam yang bernama Lailatul Qadr" dan bahwa malam itu adalah malam diturunkannya Al-Qur'an, dan merupakan "malam yang penuh berkah, sebagaimana penjelasan dalam Al-Qur'an surat al-Dukhan ayat 3.

Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena Al-Qur'an diturunkan oleh Allah subhanahu wata'ala pada bulan Ramadhan sebagaimana penjelasan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 185. Malam tersebut adalah malam mulia, yang tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungannya, yaitu kata "وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِۗ"

Kalau dilihat pemakaian Al-Qur'an tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka semuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk  Lailatul Qadr.

Secara gamblang, Al-Qur'an--demikian pula Al-Sunnah menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib. Ini berarti bahwa "ma yudrika" digunakan oleh Al-Qur'an untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui, tak terkecuali oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri. Sedangkan kata "wa ma adraka", walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah subhanahu wata'ala menyampaikannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau. Hal tersebut berarti bahwa persoalan  Lailatul Qadr harus dirujuk kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.

Kembali kepada pertanyaan semula, bagaimana tentang malam itu? Apa arti  Lailatul Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian?

Di dalam Al-Qur'an, kata ‘qadr’ digunakan untuk tiga arti:

1. Penetapan dan pengaturan sehingga  Lailatul Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah subhanahu wata'ala bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini dikuatkan oleh firman Allah subhanahu wata'ala pada Al-Qur'an surah al-Dukhan ayat 3.

Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun, Al-Qur'an yang turun pada malam  Lailatul Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah subhanahu wata'ala mengatur dan menetapkan ketentuan dan strategi bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.

2. Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Qur'an serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam Al-Qur'an surah Al-An'am ayat ke-91 yang berbicara tentang kaum musyrik.

3. Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr, Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Qadr ayat 4,

تَنَزَّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِاِذْنِ رَبِّهِمْۚ مِنْ كُلِّ اَمْرٍۛ

Artinya: "Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan." (QS. Al-Qadr [97]: 4)

Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Qur'an antara lain dalam surah Al-Ra'd ayat 26, Allah subhanahu wata'ala berfirman:

اَللّٰهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَقْدِرُ ۗوَفَرِحُوْا بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا مَتَاعٌ ࣖ

Artinya: "Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki). Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia hanyalah kesenangan (yang sedikit) dibanding kehidupan akhirat." (QS. Ar-Ra'd [13]: 26).

Ketiga arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan?

Namun demikian, masih ada pertanyaan tentang kehadirannya, apakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika turunnya Al-Qur'an 15 abad yang lalu?

Dari Al-Qur'an ditemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah subhanahu wata'ala itu diturunkan pada Lailatul Qadr, tetapi karena umat sepakat mempercayai bahwa Al-Qur'an telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka atas dasar logika itu, ada yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi.

Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia terpilih menjadi waktu turunnya Al-Qur'an. Ibnu Hajar--ulama ahli hadist, menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda bahwa Lailatul Qadr sudah tidak akan datang lagi.

Pendapat tersebut ditolak oleh mayoritas ulama dengan berpegang pada teks ayat Al-Qur'an serta sekian banyak teks hadist yang menunjukkan bahwa Lailatul Qadr terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa menyambut malam mulia itu secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan.

Memang, turunnya Al-Qur'an 15 abad yang lalu terjadi pada malam Lailatul Qadr, tetapi itu bukan berarti bahwa malam mulia itu hadir pada saat itu saja. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya disebabkan karena Al-Qur'an ketika itu turun, tetapi karena adanya faktor intern pada malam itu sendiri. Pendapat tersebut dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari' (present tense) pada ayat, "Tanazzal al-mala'ikat wa al-ruh," kata "Tanazzal" adalah bentuk yang mengandung arti kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa datang.

Selanjutnya, apakah bila ia hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu? Tidak sedikit umat Islam yang menduganya demikian.

Namun, dugaan itu keliru, karena itu dapat berarti bahwa yang memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya maupun tidak. Di sisi lain, ini berarti bahwa kehadirannya ditandai oleh hal-hal yang bersifat fisik material, sedangkan riwayat-riwayat demikian tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya.

Adapun seandainya ada tanda-tanda fisik material, maka itu pun tidak akan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang dihadirkan oleh  Lailatul Qadr tidak mungkin akan diraih kecuali oleh orang-orang tertentu saja.

Tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak sudi mampir menemuinya? Demikian juga dengan  Lailatul Qadr.

Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, karena ketika itu, diharapkan jiwa manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia itu berkenan mampir menemuinya.

Untuk itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan sekaligus mempraktikkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung di masjid) pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan, sebagaimana penejelasan dalam hadis berikut:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya,

Artinya: "Dari Siti ‘Aisyah radhiallahu anha berkata: apabila telah masuk sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyingsingkan lengan bajunya, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya" (HR. al-Bukhari).

Dari hadist di atas, diketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat bersemangat menyambut sepuluh hari akhir Ramadhan, beliau terjaga semalaman penuh dan mengajak keluarganya untuk i’tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian jiwa. Masjid adalah tempat suci, tempat segala aktifitas kebajikan bermula. Di masjid seseorang diharapkan merenung tentang diri dan masyarakatnya. Juga, di masjid seseorang dapat menghindar dari hiruk-pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan pengetahuan dan pengayaan iman.

Itulah sebabnya ketika melakukan i'tikaf, seseorang dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Qur'an, atau bahkan bacaanbacaan lain yang dapat memperkaya iman dan ketakwaan. Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailatul Qadr datang menemui seseorang, ketika itu malam kehadirannya menjadi saat qadr--dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya pada masa-masa mendatang.

Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak, dan sejak saat itu malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbit fajar kehidupannya yang baru kelak di hari kemudian.

Pada malam Lailatul Qadr malaikat turun menemui orang-orang pilihan yang menyiapkan diri untuk menyambutnya. Turunnya malaikat pada malam Lailatul Qadr, berarti bahwa orang tersebut akan selalu disertai oleh malaikat sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Jiwanya akan selalu merasakan rasa aman dan damai yang tidak terbatas sampai fajar malam Lailatul Qadr, tetapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.

Untuk itu, sebagai upaya untuk memanfaatkan peluang dalam menggapai keutamaan pada bulan Ramadhan ini, mari kita persiapkan diri dengan mulai membersihkan diri dan jiwa agar menjadi pantas untuk menerima kedatangan tamu agung Lailatul Qadr.

Malam Al-Qadr, yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan masyarakat. Ketika jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan perjalanan hidup umat manusia.

Dalam rangka menyambut kehadiran Lailatul Qadr itu, yang beliau ajarkan kepada umatnya, antara lain, adalah melakukan i'tikaf. Walaupun i'tikaf dapat dilakukan kapan saja dan dalam waktu berapa lama saja--bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walaupun hanya sesaat selama dibarengi oleh niat yang suci--namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu melakukannya pada sepuluh hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus dan merenung sambil berdoa.

Sebagai umatnya yang menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan, seharusnya kita juga melakukan apa yang biasa dilakukan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wasallam pada sepuluh hari terakhir bulan ramadhan, yaitu melakukan i’tikaf dan memperbanyak ibadah agar menjadi orang yang beruntung dapat bertemu dengan Lailatul Qadr.

Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ


Artinya: "Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka)."

Doa ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan dunia dan  akhirat, tetapi lebih-lebih lagi bertujuan untuk memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan yang dimaksud, karena doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha.

Permohonan itu juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak, dan jika yang demikian itu diraih oleh manusia, maka jelaslah ia telah memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat. (FAJR/Humas dan Media Masjid Istiqlal)

Related Posts: