Khutbah Jumat: Islam Wasathiyah Membangun Tamaddun Ummat Yang Moderat

Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 143, Allah subhanahu wata'ala menegaskan; Demikian Kami telah menjadikan kamu (Ummatan Wasatho) ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia, ...

Share :
Khutbah Jumat: Islam Wasathiyah Membangun Tamaddun Ummat Yang Moderat
Artikel

Oleh : KH. Yusnar Yusuf, MS, Ph.D 
(Ketua Dewan Pertimbangan PB. Al-Washliyah, Ketua MUI Pusat, Bidang Kerukunan Ummat Beragama)

Jakarta, www.istiqlal.or.id - Sidang Jumat yang dirahmati Allah subhanahu wata'ala. Saat ini, kita berada dalam ruang yang amat cepat berubah. Selepas pandemi Covid-19, termasuk di Indonesia sejak Maret 2020, dan selepas tahun 2022 hingga sekarang barulah wabah tersebut mereda. Dalam perjalanan menghadapi Covid-19 di Indonesia, pemerintah mencoba kebiasaan baru yang disebut dengan New Normal. Zaman ternyata tidak bisa terhempang untuk berubah.

Pertanyaannya, apakah Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh bangsa yang berpenduduk 270 Juta ini mampu bersosialisasi dengan perubahan. Suatu analisis yang begitu menantang bagi ummat Islam di Negeri ini.

Hari ini Ummat Islam dituntut untuk memahami arus perubahan. Ummat Islam ituntut untuk bersikap Washatiyah atau moderat yang bersikap posisi dipertengahan. Mampu mengintegrasikan Hubungan dengan Allah subhanahu wata'ala maupun dengan manusia dan alam sekitarnya.

Al-Quran Surat al-Baqarah ayat 143, Allah subhanahu wata'ala menegaskan; Demikian Kami telah menjadikan kamu (Ummatan Wasatho) ummat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”.

Sebagai satu pedoman hidup dan kehidupan, Islam kerap dipertanyakan oleh ummatnya sendiri. Bagaimana eksistensi Islam dalam berpacu dengan berbagai bentuk perubahan. Apakah ajarannya, konsep dalam berkehidupan selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Analisis terhadap eksistensi ini tentunya menjadi suatu keniscayaan. Kendati di sisi yang lain haruslah berhati-hati supaya tidak terperangkap dengan kualiti aqidah yang melemah. Seperti ketika seorang Muslim itu terlalu mengagungkan teori atau kaedah-kaedah ilmiah.

Secara umum, ilmu bertujuan untuk menemukan pandangan yang benar dalam mengkaji tentang alam. Ilmu hendak menjelaskan arti hidup secara global di semua dimensi perubahan. Sesungguhnya ilmu memiliki peran yang jelas, riil dalam upaya meningkatkan cara berpikir guna memperluas cakrawala akal.

Apalah lagi di zaman kemajuan saat ini, ternyata metode ilmu pengetahuan menjadi bukti untuk membuka tabir tentang berebagai hakekat ilmiah. Mengapa demikian, karena dengan metode ilmiah segala sesuatu perubahan bisa dikenali secara pasti.

Jamaah Jumat yang berbahagia. 
Berbagai ilmuan, mendefinisikan perubahan sebagai perubahan penting pada stuktur sosial hablum minannas yaitu pola perilaku dan interaksinyal. Dapat diartikan bahwa perubahan adalah suatu fenomena untuk melihat dan mempelajari tingkah laku masyarakat.

Akhlak atau lebih populernya disebut “perangai” atau prilaku menjadi kata kunci. Kendati demikian, semuanya itu dimulai dari proses pendidikan dan pembelajaran. Tujuan utama pendidikan di dalam konsep Islam adalah menciptakan manusia yang baik lagi beradab dalam pengertian yang komperhensif dengan menjadikan Rasul sebagai tauladan sentral (Naquib Al-Attas, 1998). Bukan sebaliknya, manusia itu menjadi ekstrim, kasar merasa lebih unggul, menolak pendapat orang lain. Agamanyalah yang benar. Golongannya yang paling benar, Sehingga menjadi Intoleran.

Ini dinyatakan dalam al-Quran yang menyebutkan bahwa manusia itu bisa menjadi hewan, atau malah lebih buruk dari itu. Nabi sebagai model dalam Islam, diharapkan dapat mewujudkan sebagai orang yang berkeadilan atau washatiyyah sebagai sebuah refleksi dari insan kamil atau manusia universal.

Sepatutnya seorang Muslim yang sebagai ummatan wasatho yang moderat memperlakukan orang lain sebagai Saudara sesama hamba Allah. Jadilah Muslim yang sebenarnya, sebagaimana disampaikan Rasulullah : Seorang Muslim adalah yang mampu menyelamatkan saudaranya dari (perbuatan buruk) dari lidah dan tangannya (HR. Bukhari).

إنَّالله تَعَالَى فَرائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوها، وحدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَسكَتَ عَنْ أشْياءَ رَحْمةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيانٍ فَلا تَبْحثوا عَنْحَا حديثٌ حسن، (رواه الدَّارقُطْني)

Artinya : “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa persoalan-persoalan yang wajib, maka jangan kamu siasiakan. Kemudian Allah menetapkan batas maka jangan kamu melampauinya. Dan Allah tidak menyatakan beberapa permasalahan sebagai rahmat untuk-mu, bukan kerana lupa. Maka janganlah kamu mencari-carinya” (HR. Daruqutni)).

Sidang Jumat yang berbahagia. Banyak isu-isu yang dihadapi oleh kaum Muslimin zaman sekarang, tidak wujud pada zaman Rasulullah. Namun, Prinsipprinsip yang bisa digunakan manusia beriman adalah melalui ilmu yang dikaruniakan Allah subhanahu wata'ala.

Penggunaan nalar melalui kaedah keilmuan, berbagai research dapat diketahui dan dipahami makna setiap perubahan. Ini bukan sesuatu persoalan yang baru. Rasulullah telah mengizinkan para sahabatnya untuk berpendapat dalam isu yang tidak ditemukan pada al-Quran dan Hadith. Ketika Rasulullah menugaskan Mu’adz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah, Rasulullah bertanya kepada Mu’adz beberapa soalan :

كيف تقضي؟ قال: أقضي بكتاب الله، قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم، ولا في كتاب الله؟ قال: أجتحد رأيي، وقال: الحمد لله الذي وفق رسول، رسول الله لما ير ضي رسول الله

Rasulullah SAW bertanya: Bagaimana engkau menetapkan hukum? Jawab Mu’adz: Aku menjatuhkan hukum dengan apa yang ada dalam al-Quran. Selanjutnya, jika tidak ada dalam Kitabullah? Jawab Mu’adz: Maka dengan Sunnah Rasulullah. Ditanya Rasulullah lagi: Kalau tidak ada dalam sunnah-Ku? Jawab Mu’adz: Maka aku akan berijtihad. Selepas itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan: Segala pujian bagi Allah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yaitu Mu’adz bin Jabal).

Hadith ini menjelaskan, bahwa Rasullullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak melarang siapapun dalam mengeluarkan pendapat, Namun, tidak semua orang mampu untuk berpendapat serta mengemukakan pandangan tentang agama. Larangan ini jelas termaktub dalam al-Quran:

وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖ ۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْ ۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا

Artinya : “Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ululamri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).” (QS. an-Nisa’ : 83).

Dalam Islam, ijtihad terikat dengan zaman dan tempat. Ini dikarenakan ketika menggunakan prinsip-prinsip Islam dalam berijtihad, mereka perlu mempertimbangkan masa dan tempat. Justeru, ijtihad ulama dahulu, mungkin tidak dapat digunakan lagi pada zaman ini disebabkan keadaan yang berubah. Perkembangan teknologi misalnya, melahirkan “Multimedia Super Corridor” yang secepatnya memunculkan “cyberspace”. Sebuah perubahan untuk kemudahan bagi manusia melakukan berbagai kerja-kerja kejayaan.

Selain mengukuhkan lagi upaya penyelidikan dan pengembangan pendidikan yang berasaskan “teleconferencing”. Dengan begitu akan lahir generasi yang cemerlang tetapi juga generasi pandai bersyukur. Ummatan washto, ummat pertengahan, Adil dan moderat. Sebab Islam tidak tertutup terhadap perubahan. Islam amat bersifat terbuka dan berada pada 'maqam pertengahan' untuk menerima perubahan. Selanjutnya dalam masa yang sama menyumbang membangunkan tamadun baru umat manusia. (FAJR/Humas dan Media Masjid Istiqlal)

Tags :

Related Posts: