Khutbah Jumat: Islam Rahmatan Lil'alamin

Islam Rahmatan Lil ‘Alamin adalah maqasidul ‘am lis syari’ah, bahwa muara dari ajaran Islam adalah maslahah, kasih-sayang, dan kedamaian.

Share :
Khutbah Jumat: Islam Rahmatan Lil'alamin
Berita

Oleh : Prof. Dr. KH. Waryono Abdul Ghafur, M.Ag
(Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren KEMENAG RI)


Jakarta, www.istiqlal.or.id - Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah. Alhamdulillah, puji dan syukur kita persembahkan kepada Allah atas limpahan karunia-Nya yang tak terbatas kepada semua makhluk-Nya, baik yang tampak oleh kita maupun tidak, di mana pun makhluk itu berada; diseluruh persada bumi, di lautan yang luas, dan bahkan di langit.

Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan dan panutan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang kehadiran dan diutusnya dinyatakan oleh Allah sendiri sebagai rahmah yang agung dan menyeluruh bagi semesta alam. Dengan syukur, shalawat, dan salam yang aktual, semoga membuat kita menjadi orang yang terus-menerus melazimkan dan senantiasa meningkatkan takwa kepada Allah subhanahu wata'ala sehingga dunia lestari dan sesama makhluk terjalin relasi dalam bingkai ukhuwwah makhluqiyah, yakni persaudaraan sesama makhluk.

Hadirin Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah. Perkenankan pada khutbah Jum’at minggu pertama bulan Rajab ini, khatib menyampaikan dan mengingatkan kembali akan pentingnya memahami dengan baik dan melaksanakannya dalam kehidupan, apa yang kita kenal dengan Islam Rahmatan Lil Alamin. Hal ini relevan untuk dikemukakan terutama pada momentum bulan Rajab, sebagai salah satu dari 4 bulan mulia, sebagaimana dipahami mufassir dari QS. At-Taubah [9]: 36 dan al-Baqarah [2]: 194.

Bulan Rajab adalah bulan yang di dalamnya dianjurkan untuk mulai melipatgandakan amal saleh, baik yang bersifat pribadi seperti puasa sunnah maupun yang bersifat sosial, seperti menjalin silaturahim, mengurai dan menyelesaikan problem sosial, dan lain-lain. Relevan juga untuk diingatkan kembali, karena kita sebagai bangsa mulai memasuki tahun politik, yang kadang membuat lupa arti pentingnya persaudaraan, terutama persaudaraan sesama anak bangsa atau ukhuwwah wathaniyah.

Ma’asyiral muslimin hadaniyallah wa iyyakum ajma’in. Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dipahami oleh para ulama dari QS. al-Anbiya’ [21] ayat 107. Ayat ini secara tekstual menjelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diutus oleh Allah subhanahu wata'ala sebagai rahmat yang luas dan besar bagi semesta alam atau Muhammad diutus sebagai bukti rahmat Allah bagi semesta alam.

Allah subhanahu wata'ala tidak membiarkan makhluk terbaik yang dimuliakanNya, yaitu manusia hidup tanpa pegangan dan tuntunan sehingga terjerumus dalam jurang kenistaan dan jatuh pada titik puncak kehinaan. Untuk itulah, sebagai bukti kasih dan sayang-Nya, Allah mengutus para rasul di tengah-tengah masyarakat.

Para rasul inilah, termasuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah membuka jalan hidayah, sehingga manusia dapat membangun kehidupannya dengan penuh cinta dan damai, tanpa kekerasan, fairness tanpa diskriminasi dan bully, penuh toleransi, dan tanpa subordinasi. Nabi Muhammad juga sebagai sosok nabi rahmah. Bagaimana tidak, sosoknya tak henti dipuji dan kehidupannya tak kering dipelajari, meskipun pada saat yang sama, hinaan padanya juga terus terjadi dan bahkan sebagiannya diabadikan dalam kitab suci yang ia terima dari Rabbul izzati.

Sebagai manusia, Nabi Muhammad mengalami apa yang dialami manusia pada umumnya, seperti rasa kesal, gusar, kecewa, bingung, lelah, sedih, senang, dan lain-lain. Namun sisi manusiawi ini tidak menghilangkannya sebagai sosok teladan, seperti dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya, Qur'an Surat Al-Ahzab [33] ayat 21 :

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ ٢١

Artinya: "Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab [33] ayat 21)

Hal ini karena ia telah memancarkan rahmat Allah, sehingga realitas sosial yang tidak ideal dan tidak sesuai harapan dapat diatasi diantaranya melalui sikapnya yang penuh maaf. Tidak berlaku baginya prinsip, “tiada maaf bagimu”, bahkan terhadap orang yang nyata-nyata menyakitinya. Nabi Muhammad bahkan bukan hanya memaafkan mereka yang berperilaku adigang-adigung-adiguna, mereka yang menonjolkan supremasi dan kekuatan, membanggakan keturunan dan kebangsawanan, memamerkan kelihaian dan kecerdikan, dan mereka yang jumawa dan menganggap sah melakukan kesewenang-wenangan dengan kelebihan yang dimiliki, namun juga mendoakan dan memohonkan ampunan. Sikap ini lahir dari kebesaran jiwanya dan sikap positifnya terhadap manusia.

Baginya, tidak berlaku hukum, bahwa manusia selamanya buruk dan jahat. Manusia dapat berubah menjadi baik, kalau tidak dirinya sekarang, mungkin keturunan atau generasi sesudahnya. Dua sikap itulah yang menjadi kunci pembuka untuk terjadinya musyawarah dan islah, sehingga orang atau mereka yang pernah berbuat kesalahan bukan dipukul tapi dirangkul, tidak diinjak tapi diajak, dibina bukan dihina, dididik bukan dibidik, diajar bukan dihajar, dan dinasehati bukan dicaci.

Jama’ah Jum’at yang berbagia. Upaya menebar rahmah sebagaimana diajarkan dan dipraktekkan Rasul diakui bukan sesuatu yang mudah. Hanya orang dengan dan sebab rahmat Allah yang akan dapat mengatasi semua problem-problem yang dilakukan manusia. Orang seperti ini juga pastinya akan selalu menautkan hati, pikiran, dan langkahnya kepada Allah. Ia sadar bahwa keputusan dan hasil akhir bukan ditangannya, namun semuanya kembali pada kekuasaan Allah, meskipun ia sangat menginginkannya. Sikap inilah yang lazim disebut tawakkal.

Rasulullah diingatkan oleh Allah dan kita sebagai pengikutnya patut mengikutinya, bahwa cara-cara kasar dan kekerasan yang lahir dari hati yang kerdil, keras, dan licik, tidak membuat manusia mendekat tapi malah menjauh dari lingkaran dan lingkungan yang baik. Sejarah mencatat, bahwa ajaran mulia dan mengajak manusia ke surga, sejahtera dan damai sejak di dunia, semuanya dilakukan dengan cara-cara yang ramah, adaptif, dan tidak memaksa.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah. Islam rahmatan lil-alamin tidak hanya tercermin dalam konteks relasi manusia dengan manusia, namun juga dengan seluruh makhluk Allah; hewan, tumbuh-tumbuhan, air, gunung, udara, tanah, laut, dan bahkan jin dan malaikat. Karena itu, agama bukan saja mengajarkan ukhuwwah makhluqiyyah, namun juga mengajarkan silaturahim baik dengan makhluk spiritual maupun silaturahim dengan alam.

Dua landasan itulah yang menjadikan semua makhluk merasakan rahmat atas kehadiran Rasul dan Islam yang diajarkannya. Hewan sebagai makhluk merasakan rahmah atas kehadiran Rasulullah, karena Rasulullah melarang bersikap sewenangwenang terhadap hewan, diantaranya ketika menyembelihnya. Alam, secara keseluruhan juga mendapat rahmat, karena Allah melalui lisan Nabi-Nya melarang merusak alam. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam Qur'an Surat al-A’raf [7] ayat 85 :

وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًاۗ قَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗۗ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ فَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ اَشْيَاۤءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَاۗ ذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ ٨٥

Artinya: Kepada penduduk Madyan, Kami (utus) saudara mereka, Syuʻaib. Dia berkata, “Wahai kaumku, sembahlah Allah. Tidak ada bagimu tuhan (yang disembah) selain Dia. Sungguh, telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka, sempurnakanlah takaran dan timbangan, dan janganlah merugikan (hak-hak) orang lain sedikit pun. Jangan (pula) berbuat kerusakan di bumi setelah perbaikannya. Itulah lebih baik bagimu, jika kamu beriman.” (QS. al-A’raf [7] ayat 85)

Dengan demikian Islam Rahmatan Lil ‘Alamin adalah Islam yang anti kekerasan dan membuat kerusakan, pantang menghina, merendahkan atau memberi label negatif, menjauhi prejudice (su’udzan), mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan ghibah. Yang kuat melindungi yang lemah, tidak berperilaku yang merugikan diri dan orang lain, adil, bersikap ihsan terhadap semua makhluk, bersikap moderat (tawasuth) dan seimbang (tawazun), bersikap toleran (tasamuh) terhadap perbedaan.

Islam Rahmatan Lil ‘Alamin juga memberikan tips ketika relasi sosial terancam atau terganggu atau bahkan cenderung mengarah ke konflik, yaitu memaafkan, mendoakan, musyawarah dan tawakkal. Musyawarah tidak akan terjadi andai pintu maaf belum terbuka. Mendoakan orang yang berbuat salah terhadap kita juga hampir mustahil, bila belum dibuka pintu maaf.

Karena itu kunci rekonsiliasi atau islah adalah memaafkan dimulai dengan musofahah, bersalaman dan mengembalikan hak-hak yang terampas. Basis Islam Rahmatan Lil ‘Alamin adalah ukhuwwah dan silaturahim. Islam Rahmatan Lil ‘Alamin adalah maqasidul ‘am lis syari’ah, bahwa muara dari ajaran Islam adalah maslahah, kasih-sayang, dan kedamaian. (FAJR/Humas dan Media Masjid Istiqlal)

Tags :

Related Posts: