Khutbah Jumat: Ibadah Qurban Refleksi Kesalehan Individual dan Sosial
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui” (QS. Al-‘Ankabut: 41).
Oleh: DR. KH. A. Nur Alam Bakhtir, MA
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Jamaah Jumat rahimakumullah. Di dalam Al-Qur’an, Allah subhanahu wata'ala menunjukan adanya iktibar dua karakteristik makhluk yang sungguh berbeda bahkan bertolak belakang sifat dan prilakunya. Pertama, makhluk yang diciptakan-Nya sebagai makhluk yang sifatnya individualistik dan egoistik, yaitu “laba-laba” (Al-‘Ankabut) yang menjadi salah satu nama surat di dalam Al-Qur’an, yakni Surat Al-‘Ankabut, surat yang ke-29. Allah subhanahu wata'ala menamai surat Al-‘Ankabut dengan kalimat tunggal (mufrad). Bukan dengan kalimat jama’ yang menunjukkan banyak laba-laba (‘anakib).
Penyebutan dengan nama Al-‘Ankabut (satu laba-laba), seakan Allah subhanahu wata'ala memberitahukan kepada kita, bahwa karakter hidup laba-laba selalu menyendiri, tidak mau berkawan selalu bermusuhan satu dengan yang lainnya. Apapun bagi laba-laba dikerjakannya sendiri, cari mangsa sendiri dan dimakannya sendiri. Buat rumah sendiri dan ditempatinya sendiri. Jika ada temannya yang mendekatinya pasti dibunuh dan dimangsanya. Bahkan jantannya yang telah membuahinya, dengan sadis dibunuh dan dimangsanya juga.
Padahal di sisi lain, laba-laba memiliki keunggulan dengan benang sutranya yang walaupun begitu tipis tetapi sangat kuat. Menurut para ilmuan barat dalam penelitiannya menemukan satu bukti bahwa benang sutra laba-laba lima kali lebih kuat dari kawat tembaga dalam ukuran yang sama. Sebab dengan alasan inilah orang-orang primitif yang hidup di pedalaman hutan-hutan belantara di manapun di dunia ini, mereka pada umumnya mencari dan memanfaatkan ribuan sarang laba-laba untuk dijadikan tambang dan jaring guna menjaring binatang buas dan menangkap ikan-ikan di sungai-sungai maupun di lautan lepas.
Tetapi kenapa Allah subhanahu wata'ala berfirman sebagaimana pada surat Al-'Ankabut ayat 41,
مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْلِيَاۤءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِۚ اِتَّخَذَتْ بَيْتًاۗ وَاِنَّ اَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui” (QS. Al-‘Ankabut: 41).
Ayat ini menunjukkan pesan kepada kita dari sisi kita manusia sebagai makhluk individu (insaniah), dimana semua perbuatan kita akan kita pertanggungjawabkan (al-mas’uliyah) secara individu. Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam surat Al-Isra ayat 13,
وَكُلَّ اِنْسَانٍ اَلْزَمْنٰهُ طٰۤىِٕرَهٗ فِيْ عُنُقِهٖۗ وَنُخْرِجُ لَهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ كِتٰبًا يَّلْقٰىهُ مَنْشُوْرًا
"Setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab yang dia terima dalam keadaan terbuka." (QS. Al-Isra’: 13)
Bahwa siapapun yang menggantungkan atau menyandarkan diri bahkan menghambakan diri kepada selain Allah subhanahu wata'ala mungkin kepada kekayaan materi, mungkin kepada kedudukan, pangkat ataupun jabatan, demi Allah, walaupun hidup berlimpahan harta, dengan rumah mewah yang dibangun dengan bahan dasar material yang serba mewah, serta isi rumah yang juga serba eksklusif dan mewah, hidup mereka tidak akan senang dan tenang, dengan kata lain hidup mereka akan selalu resah-gelisah yang popular dengan sebutan kalangkabut (kal’ankabut), seperti laba-laba penuh kebencian jauh dari kasih sayang.
Bahan dasar rumah laba-laba adalah benang sutra terkuat, tetapi rumah yang dibangun laba-laba atau sarang labalaba fungsinya sangat terbatas dan rapuh. Selain dari itu ayat ini pun memberikan pesan bahwa walaupun benang sutera laba-laba sungguh begitu kuat, namun benang sutera laba-laba tidak bisa diproduksi secara masal, sebab hidup laba-laba saling bermusuhan dan saling memangsa. Ini artinya suatu pembelajaran bagi kita umat manusia, bahwa siapaun ia, sepandai dan setinggi apapun ilmu yang dimiliki, jika orentasi hidupnya individualistik dan egoistik, maka hidup mereka akan sia-sia, tidak berguna.
Dan perlu diingat, manusia sepandai apapun tidakan akan mampu menyelesaikan dan mengatasi urusannya sendiri, pasti memerlukan kehadirang orang lain. Kedua, makhluk yang diciptakan-Nya sebagai makhluk kolektif, yang selalu kompak dan bekerjasama satu dengan yang lainnya, yakni semut (namlah) dan lebah (nahlah). Lebah dan semut dipilih menjadi nama surat dalam al-Qur’an, yakni Surat lebah-lebah (al-Nahl) surat yang ke 16, dan surat semut-semut (al-Naml), surat yang ke 27.
Uniknya penamaan surat Semut dan surat Lebah, menggunakan kalimat majemuk (jama’), al-Nahl dan al-Naml, bukan menggunakan kalimat tungggal (mufrad), seperti penggunaan surat Laba-laba (al-‘Ankabut) tunggal, bukan jama’ ‘anakib. Penggunaan kalimat jama’ untuk surat alNahl dan al-Naml, menunjukkan iktibar bahwa kehidupan lebah dan semut ada sisi yang patut dicontoh, yakni mereka hidup bergotong royong, saling bekerja sama, dan saling menjaga dengan memberikan informasi kepada golongonnya dikala ada susuatu yang mengancam eksistensinya.
Sungguh luar biasa perilaku semut sehingga diabadikan dan diceritakan kepada kita umat manusia seperti yang difirmankan Allah di dalam Al-Qur’an bahwa ketika Nabi Sulaiman alaihis salam, dengan bala tentaranya dari golongan jin, manusia burung berbaris dengan tertib.
Sllah subhanahu wata'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat An-Naml ayat 18-19,
حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ ١٨
فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَدْخِلْنِيْ بِرَحْمَتِكَ فِيْ عِبَادِكَ الصّٰلِحِيْنَ ١٩
"Hingga ketika sampai di lembah semut, ratu semut berkata, “Wahai para semut, masuklah ke dalam sarangmu agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” Dia (Sulaiman) tersenyum seraya tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku (ilham dan kemampuan) untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan untuk tetap mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai. (Aku memohon pula) masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS. al-Naml [27]: 18 - 19).
Banyak hal yang dapat dicontoh dari kehidupan semut untuk kita terapkan dalam kehidpan kita, yakni sifat sosialnya yang tinggi, semangat juangnya, tanggungjawabnya, kebersamaannya, saling menjaga dan saling memberikan informasi, mereka menjalankan tugasnya sesuai dengan tanggung jawabnya masingmasing. Komunitas semut menjalankan tugas sesuai dengan stratanya, ada ratu semut dan penjantan, ada semut prajurit, dan ada semut pekerja, mereka bekerja sesuai dengan porsinya masingmasing.
Demikian halnya terkait dengan kehidupan lebah ada iktibar yang patut kita contoh, lebah makan sari pati bunga, dan yang dikeluarkan lebah adalah madu. Semakin tinggi kualitas sari pati bunga yang dimakan, maka semakin tinggi kualitas madu yang dihasilkan dan sangat bermanfaat.
Allah subhanahu wata'ala di dalam Al-Qur’an menegaskan dalam surat An-Nahl ayat 68-69,
وَاَوْحٰى رَبُّكَ اِلَى النَّحْلِ اَنِ اتَّخِذِيْ مِنَ الْجِبَالِ بُيُوْتًا وَّمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُوْنَۙ ٦٨
ثُمَّ كُلِيْ مِنْ كُلِّ الثَّمَرٰتِ فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًاۗ يَخْرُجُ مِنْۢ بُطُوْنِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ ۖفِيْهِ شِفَاۤءٌ لِّلنَّاسِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٦٩
“Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah, "Buatlah sarang di gununggunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikian manusia. Kemudian makanlah dari segala (macam) buah-buahan lalu tempuhlan jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu).” Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacammacam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi umat manusia. sungguh yang demikian itu terdapat tandatanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berpikir.” (QS. An-Nahl [16]: 68-69).
Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya perumpamaan orang mukmin itu (sejatinya) bagaikan lebah yang selalu memakan yang baik dan mengeluarkan yang baik. Lebah hinggap (di ranting) namun tidak membuatnya patah dan rusak” (HR. Ahmad).
Ketiga, sedangkan kita manusia diciptakan Allah subhanahu wata'ala mempunyai dua sisi (dimensi) sekaligus. Satu sisi manusia diciptakan sebagai makhluk individual dengan sebutan Al-insan. Sisi yang lain manusia diciptakan sebagai makhluk sosial dengan sebutan Al-Nas. Indikasi manusia sebagai makhluk individual dengan sebutan Al-insan, terungkap bahwa semua kata ganti (dhamir) yang disandarkan kepada kata al-insan selalu tunggal (mufrad). Karena itu manusia secara individu memiliki sifat dan karakter yang berbeda satu dengan yang lainnya walaupun lahir dalam keadaan kembar dari Rahim yang sama.
Sebagai makhluk individual (al-insan), manusia ditaklif secara sendiri-sendiri. Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri-sendiri, baik buruk perbuatan manusia akan dipikul secara sendirisendiri. Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat An-Najm ayat 38 sampai 40 dan Al-Qur'an surat Al-Isra ayat 13 sampai 14,
اَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۙ ٣٨ وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ ٣٩ وَاَنَّ سَعْيَهٗ سَوْفَ يُرٰىۖ ٤٠
“Bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul orang lain, dan bahwa manusia (al-insân) hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)” (QS. al-Najm [53]: 38 - 40).
وَكُلَّ اِنْسَانٍ اَلْزَمْنٰهُ طٰۤىِٕرَهٗ فِيْ عُنُقِهٖۗ وَنُخْرِجُ لَهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ كِتٰبًا يَّلْقٰىهُ مَنْشُوْرًا ١٣ اِقْرَأْ كِتٰبَكَۗ كَفٰى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْبًاۗ ١٤
“Dan setiap manusia (al-insan) telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya.Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan sebuah kitab dalam keadaan terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu” (Q.S. al-Isra’ [17]: 13 - 14).
Karena itu dalam perspektif Islam setiap individu, manusia (al-insan) mempunya hak dan kewajiban serta kesetaraan dan kebebasan yang sama untuk mengembangkan dan membangun kualitas diri pribadi masing-masing, terkait dimensi intelektual, dimensi moral maupun dimensi spiritual.
Membangun kualitas keimanan terkait keyakinan dalam mentauhidkan Allah subhanahu wata'ala agar terhujam dalam di dalam hati sanubari yang terdalam, lalu diwujudkannya dalam perilaku berupa ketaatan yang tulus kepada Allah subhanahu wata'ala, dalam menjalankan perintah-Nya yang sifatnya vertikal dan invidual yang dikenal dengan ibadah mahdhah (hablun minallah).
Rajin mengerjakan shalat yang wajib maupun yang sunnah, istiqamah mengerjakan puasa Ramadhan maupun puasa sunnah, jujur dalam mengeluarkan zakat mal sesuai dengan hitungan harta yang dimiliki, maupun menjalankan ibadah haji dan umrah, serta banyak berzikir dan berdo’a. Perilaku ini semua dikenal dengan kesalehan individual.
Sedangkan Indidikasi manusia sebagai makhluk sosial yang merupakan porsi atau sisi paling besar dalam diri kita ditunjukkan dengan kalimat Al-Nas. Jika kalimat al-Insan hanya disebutkan sebanyak enam puluh lima kali (65 x), sedangkan kalimat alNas disebutkan sebanyak dua ratus empat puluh kali (240 x). Dan ternyata di dalam al-Qur’an semua kata ganti (dhamir) yang disandarkan kepada kalimat al-Nas selalu memnggunakan kata ganti majemuk (jama’).
Manusia sebagai makhluk sosial, kehidupan manusia membutuhkan kehadiran orang lain. Dengan sebab itu manusia sebagai makhluk sosial diciptakan Allah subhanahu wata'ala dari keturunan yang sama yaitu Adam alaihis salam.
Allah Subhanahu wata'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat al-Hujurat ayat 13,
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣
“Wahai manusia! sunnguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqa. Sungguh Allah mengetahui lagi Maha teliti” (QS. al-Hujurat [49]: 13).
Pada kesempatan haji wada’, dikala wukuf di padang Arafah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah terkait kesetaraan manusia dengan menggunakan panggilan “Ya ayyuhannas” (wahai manusia). “Ya ayyuhan nas, innallaha qad adzhaba ‘ankum nakhwatal-jahiliyyah wa ta’azhzhumaha bil-aba, kullukum min Adam, wa Adamu min turab, laisa li ‘arabiyyin ‘ala a’jamiyyin illa bittaqwa (Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah mencabut dari kalian panatisme jahiliyyah yang suka mengagung agungkan nenek moyangnya.
Semua kalian berasal dari Adam, dan Adam diciptakan dari tanah. Tidak ada keistimewaan orang Arab dihadapan non Arab kecuali taqwa). Taqwa manusia sebagai makhluk sosial, dimensinya adalah berguna atau memberi manfaat bagi orang lain. Berguna bagi keluarga, bagi masyarakat, bagi Negara dan bangsa terutama bagi agama. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan: “Khairun nâs anfa’uhum lin-nâs”. Sebaik baiknya manusia adalah manusia yang paling memberi manfaat kepada orang lain. Ini artinya bahwa kesalehan individual mutlak harus difokuskan dan diimplementasikan untuk kesalehan sosial.
Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 77,
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ ٧٧
“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. al-Qashash [28]: 77).
Ayat di atas jelas menunjukkan bahwa untuk mencapai surga Allah subhanahu wata'ala, kita diharuskan berbuat baik terhadap orang lain, peduli kepada orang lain terutama bagi mereka yang membutuhkan uluran tangan kita. Di antara wujud kepedulian sosial sebagai implementasi kesalehan sosial, Islam mengajarkan kepada kita umat Islam yang berkecukupan atau berkemampuan untuk berqurban dengan menyembelih hewan kurban sesuai dengan kemampuan kita masing-masing, sebagai tanda syukur atas nikmat yang dikaruniakan Allah subhanahu wata'ala kepada kita.
Firman Allah subhanahu wata'ala menegaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Kautsar 1-2,
اِنَّآ اَعْطَيْنٰكَ الْكَوْثَرَۗ ١ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْۗ ٢
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat atau bersyukurlah kepada Tuhanmu, dan berqurbanlah” (QS. Al-Kautsar: 1 - 2).
Ibadah Qurban merupakan salah satu ibadah sosial yang menunjukkan pentingnya hubungan manusia dengan Allah sekaligus menjalin hubungan manusia dengan manusia sebagai hamba Allah. Saking pentingnya ibadah sosial kurban, dimana jumhur ulama mengakategorikan sebagai ibadah sunnah muaqqad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Man wajada sa’atan falam yudhahhi fala yaqrabanna mushallana”, yang artinya: “Siapapun yang memiliki kemampuan namun tidak berqurban, maka jangan sekali-kali mendekat tempat shalat kami” (HR. Ahmad dan Ibn Majah).
Ibadah kurban yang diawali dari kesejarahan adanya perintah Allah kepada Nabi Ibrahim alaihis salam, untuk menyembelih putra tunggal tersayang Isma’il alaihis salam, dan disambut oleh Ismail alaihis salam, dengan penuh kepasrahan dan ketulusan akan perintah Allah subhanahu wata'ala kepada ayahandanya, lalu diikhlaslah oleh ibundanya Siti Hajar walaupun iblis dengan gigih menggoda dan menghadangnya, tetapi ketiga pigur, ayah, anak dan istri, lulus menghadapi ujian berat itu, dan Allah subhanahu wata'ala menggantinya dengan sembelihan yang besar (wa fadainahu bidzibhin ‘azhim) seperti dijelaskan di dalam al-Qur’an surat ash-Shafat ayat 102 hingga 110.
Kemudian ibadah kurban yang diwariskan syariatnya kepada kita umat Islam dengan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan salah satu dari syi’ar Islam. Allah subhanahu wata'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Hajj ayat 36 dan 37,
“Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu sebagai bagian dari syi’ar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah rebah mati, maka makanlah sebagian dan beri makanlah orang yang meresa cukup dengan apa yang ada padanya, dan orang-orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan untukmua agar kamu bersyukur. Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketaqwaan kamu…” (QS. Al-Hajj [22]: 36 - 37). (FAJR/Humas dan Media Masjid Istiqlal)