Khutbah Jumat: Ekologi Spritual dalam Merawat Jagat (Membangun Kesadaran Terhadap Lingkungan)
“Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, ataupun hewan, kecuali baginya dengan tanaman itu adalah sadaqah” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas).
Oleh : Prof. Dr. H. Muammar Bakry, Lc., MA.
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Jamaah Jumat Masjid Istiqlal rahimakumullah. Pada dekade akhir-akhir ini, dunia disibukkan dengan isu perubahan iklim dan krisis lingkungan. 196 negara anggota PBB pada perjanjian Paris sepakat memperlambat laju pemanasan global di bawah 1,5 - 2 derajat celcius, namun hal itu tak mampu diwujudkan.
Dampak yang serius pada lingkungan kita yakni cuaca yang susah diprediksi, meningkatnya suhu dan gelombang panas yang membawa bencana alam, hilangnya berbagai spesies tumbuhan dan hewan, terjadi kekeringan dan gagal panen. Namun di wilayah lain terjadi banjir karena meningkatnya air permukaan laut di daerah-daerah pesisir dan lain-lain.
Fenomena ini tentu berdampak pada kondisi sosial masyarakat kita mulai dari perekonomian hingga pada kesehatan manusia. Ini berarti bahwa kerusakan alam dapat mengantar pada rusaknya tatanan sosial masyarakat kita, bahkan mengancam kehidupan makhluk dalam lingkungan kita. Lingkungan yang terdiri dari benda hidup (biotik) seperti manusia, tumbuhan, hewan. Dan benda tak hidup (a biotik) seperti air, udara (angin), tanah dan lain-lain.
Di antara makhluk yang paling berkepentingan dengan lingkungan adalah manusia, karena itu manusia diberikan amanah sebagai khalifah dengan fasilitas akal pikiran untuk mengelola, memelihara dan menjaganya.
Seluruh unsur lingkungan saling berhubungan untuk membentuk suatu kesatuan sistem kehidupan yang disebut ekosistem. Di dalamnya ada produsen (tanaman), ada konsumen (manusia dan hewan), ada pengurai bahan organik (mikroba) dan ada komponen tak hidup (air, udara, mineral).
Terganggunya salah satu unsur lingkungan akan berpengaruh terhadap sistem kehidupan alam semesta yang sudah diciptakan teratur dan seimbang. Dalam Qur'an Surat Al-Mulk ayat 3 - 4, Allah subhanahu wata'ala berfirman :
الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ (3) ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ اِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَّهُوَ حَسِيْرٌ (4)
Artinya : “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? (3) Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam keadaan payah (4)”. (QS. Al-Mulk ayat 3 s.d. 4)
Untuk menjaga Mizan tersebut kita diperintahkan berihsan. Berihsan dengan standar minimal adalah tidak merusak ekosistem alam. Berihsan secara maksimal yakni melakukan hal-hal yang sifatnya transformatif untuk kemaslahatan lingkungan sesuai prinsip-prinsip keseimbangan hukum alam atau sunnatullah.
Tidak membuang sampah di sembarang tempat adalah hal yang minimal dalam berihsan, tapi mengelola sampah menjadi hal yang produktif adalah berihsan secara maksimal. Tidak merusak tanaman adalah hal yang minimal, tapi menanam pohon dan merawatnya bukti ihsan maksimal. Kalau tidak bisa membersihkan jangan mengotori, kalau tidak bisa menanam dan menyiram jangan menebang dan merusak, demikian seterusnya.
Alam ini adalah jembatan untuk kesalamatan akhirat sebagaimana terdapat pada Qur'an Surat Al-Qashahsh ayat 77:
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
Artinya : “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan”.
Karena itu, kita dituntut mengelola alam dengan sebaikbaiknya. Bumi dan segala isinya disiapkan untuk manusia sebagai pengelolanya, sebagaimana dalam Qur'an Surat Hud ayat 61 :
...هُوَ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيْهَا...
Artinya : “Dia telah hidupkan kamu dari bumi (tanah) dan mempersilahkan kamu untuk memakmurkannya”.
Dalam memakmurkan dan memanfaatkan alam ini, Almarhum Prof. KH. Ali Yafie menyatakan perlunya sifat zuhud dalam menjaga bumi. Sikap berlebih-lebihan dalam mengeksploitasi alam adalah prilaku israf dan tabzir yang disenangi oleh setan. Jangankan dalam bermuamalah, dalam beribadah pun sifat itu dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas radhiallahu anhu dan dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim;
كان النبي صلى الله عليه وسلم يغسل أو كان يغسل با لصاع إلى خمسة أمداد ويتوضأ بالمد
Artinya : “Rasulullah ketika mandi (dengan takaran air sebanyak) satu sha’ sampai lima mud berwudhu’ dengan (takaran air sebanyak) satu mud.”
Dalam riwayat ini tergambar bahwa Nabi tidak boros dalam menggunakan air, ketika Nabi berwudhu diperkirakan hanya menggunakan setengah liter. Dan ketika mandi hanya menggunakan sekitar lima liter.
Sikap spiritual dalam mengelola alam untuk kemaslahatan manusia sebagai tujuan hadirnya Syariah agar tidak menimbulkan kerusakan. Karena itu dalam mengelola alam diperlukan Ekologi Spiritual yakni berinteraksi dengan lingkungan, dengan “menghadirkan” Tuhan dalam setiap aspek kegiatan. Merasakan bimbingan Tuhan dalam mengelola alam sebagai hamba dan khalifah.
Menerjemahkan potensi sifat-sifat Allah dalam berinteraksi dengan lingkungan misalnya meneladani sifat Rahman dan kasih sayang Allah, sehingga kita menjadi agen rahmatan lil alamin dalam mewujudkan keindahan, kenyamanan, kedamaian, dan kesejahteraan.
Al-Qur'an Surat Ar-Ruum ayat 41-42 Allah subhanahu wata'ala memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut akibat ulah manusia. Ayat di atas jelas menyatakan kerusakan bumi karena ulah tangan manusia yang tidak menghadirkan Tuhan dalam suasana kebatinannya dalam mengelola alam.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ (41) قُلْ سِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَانْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلُۗ كَانَ اَكْثَرُهُمْ مُّشْرِكِيْنَ (42)
Artinya : “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: Adakan perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)”. (QS. Ar-Ruum ayat 41-42)
Ayat 42 Qur'an Surah ArRum menyebutkan bahwa prilaku musyrik menjadi penyebab dan penggerak tangan berulah dalam melakukan tindakan pengrusakan alam.
Jadi musyrik dalam ayat tersebut bisa bermakna syrik dalam akidah, bisa juga bermakna syirik dalam perbuatan. Syrik dalam perbuatan adalah orang yang memiliki orientasi material yang berlebih lebihan dengan mengabaikan nilai-nilai moralitas dalam bermuamalah dan mengelola alam ini.
Prilaku hidup yang merasa tidak dimuraqabah oleh Allah subhanahu wata'ala, prilaku yang mengabaikan sifat keagungan Tuhan, jauh dari frekuensi ilahi yang membuat dirinya hilang kendali. Agar tidak rusak kita harus berprilaku “Mushlih“, demikian Qur'an Surat Hud ayat 117 :
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرٰى بِظُلْمٍ وَّاَهْلُهَا مُصْلِحُوْنَ
Artinya : “Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Hud ayat 117)
Jamaah rahimakumullah. Dalam konteks syariah, menjaga lingkungan dapat dimasukkan sebagai bagian dari tujuan hadirnya syariah Islam di tengah manusia. Tujuan utama kehadiran syariah Islam itu biasa diistilahkan dengan Maqashid Syariah, yakni menjaga Agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga kehormatan, dan menjaga harta benda.
Kemaslahatan dunia dan akhirat bersumber pada Maqashid Syariah tersebut, diurut secara sistematis menurut skala prioritasnya. Dimulai dari agama karena tanpa agama, tidak ada optimisme dan pengharapan balasan atas amalan yang dilakukan. Dengan norma-norma agama cara hidup manusia akan berbeda dengan kehidupan binatang. Menjaga kehidupan, karena tanpa kehidupan tidak ada penganut agama.
Adalah perintah Tuhan agar tidak menempuh jalan pintas dengan jalan apa pun untuk mengakhiri hidup. Keharusan menjaga akal, sebab tanpa akal, hidup manusia tidak punya nilai dan arti, dan akhirnya juga tidak mampu menjalankan agama secara benar. Wajib memelihara keturunan, karena dengan itu manusia tetap lestari secara alami dan sah sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Dan yang terakhir dengan menjaga harta, manusia bisa menikmati hidup di dunia.
Demikian banyak perintah ayat maupun hadis tentang menjaga lingkungan, maka hifdzul bi’ah (menjaga lingkungan) dapat dimasukkan dalam maqashid syariah (tujuan pokok hadirnya agama Islam). Pandangan ini tentu sangat beralasan, karena tanpa bumi maka manusia mustahil hidup, tanpa kehidupan manusia mustahil beribadah, tanpa ibadah manusia tak mungkin selamat.
Karena itu merusak lingkungan (bumi) berarti merusak kehidupan makhluk terutama manusia. Dengan demikian hukum menjaga lingkungan adalah fardhu ain (kewajiban person) kepada setiap umat manusia.
Kaidah yang sangat populer La dharara wala dhirarar (tidak memberi mudharat kepada yang lain dan tidak dimudharatkan oleh yang lain) menjadi acuan hukum atas keharaman merusak lingkungan, dan memerintahkan sebaliknya yaitu kewajiban menjaga dan melestarikan lingkungan.
Akhirnya mari kita renungkan sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
1) Abu Hurairah juga meriwayatkan, bahwa Nabi pernah bersabda : “Hati-hatilah terhadap dua macam kutukan; sahabat yang mendengar bertanya : Apakah dua hal itu ya Rasulullah?. Nabi menjawab : yaitu orang yang membuang hajat di tengah jalan atau di tempat orang yang berteduh” demikian pula larangan membuang hajat di tempat sumber air.
2) Riwayat Thabrani : “Dari Abu Hurairah: jagalah kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali orang-orang yang bersih” (HR. Thabrani).
3) Melestarikan alam dengan menanam pohon sangat dianjurkan dan dianggap melakukan perbuatan sadaqah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Tidak-lah seorang muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, ataupun hewan, kecuali baginya dengan tanaman itu adalah sadaqah” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari Anas).