Hikmah: Lalu Apa Sepulang Haji?
Maka sepulang haji, berihram lah sepanjang hidup, teruslah berusaha mengendalikan diri, seraya mentaati perintah-perintah Allah subhaanahu wa ta’ala dan menghindari segala larangan-Nya.
Oleh: Saparwadi Nuruddin Zain
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Sebagian jamaah haji pada tahun 1444 H mulai berkemas meninggalkan tanah suci, kembali ke kampung halamannya, ke negaranya masing-masing. Tentu banyak hal yang mereka dapatkan dari pengalaman melaksanakan ibadah haji, perasaan haru, bahagia, dan sedih menjadi satu.
Terharu karena tahun ini Allah azza wajalla mentaqdirkannya untuk melaksanakan ibadah haji, suatu dambaan keinginan seluruh muslim. Berbahagia pada akhirnya bisa menginjakkan kaki di tanah suci bersimpuh bersujud kepada Allah azza wa jalla di hadapan Ka’bah dan berbahagia dapat berkunjung, berziarah ke rumah Rasulullah shallallaahu ‘alai wa sallam, Dan pada ujungnya bersedih karena harus meninggalkan tanah suci, berharap bisa berlama-lama beribadah dan berziarah di tanah haram Makkah wal Madinah, seraya berharap semoga bisa berkunjung kembali di lain waktu.
Semoga yang telah melaksanakan ibadah haji mendapatkan predikat haji mabrur, haji yang maqbul, haji yang diterima amal ibadahnya selama melaksanakan haji, haji yang tidak dinodai dengan dosa, haji yang pelaksanaan manasiknya sempurna sesuai dengan tuntunan syariat.
Rasulullah shallallaahu ‘alai wa sallam bersabda: “Haji mabrur tidak ada ganjarannya kecuali surga” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat lain sahabat Jabir bin Abdullah r.a meriwayatkan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alai wa sallam, “apakah haji mabrur itu?” Beliau menjawab: “Memberi makan dan menyebarluaskan kedamaian” (HR. Ahmad dan Hakim).
Setelah selasai melaksanakan ibadah haji, seorang muslim diharapkan agar menjaga, memelihara kemabruran hajinya.
Dikatakan bahwa semua hal-hal yang terkait pelaksanaan manasik haji merupakan simbol-simbol untuk dilestarikan dan dilaksanakan maknanya, seperti halnya memakai pakaian ihram ketika pelaksanaan haji, dan kemudian melepaskan pakaian ihram ketika selesai. Salah satu maknanya adalah ketaatan untuk tidak melakukan hal-hal yang dilarang selama memakai pakaian ihram. Artinya seorang muslim belajar untuk mampu mengendalikan diri, menahan segal hal-hal keinginan yang bisa merusakkan nilai-nilai haji.
Maka sepulang haji, berihram lah sepanjang hidup, teruslah berusaha mengendalikan diri, seraya mentaati perintah-perintah Allah subhaanahu wa ta’ala dan menghindari segala larangan-Nya.
Begitu juga makna-makna manasik haji yang lain, seperti Wuquf di Arafah yang merupakan inti pelaksanaan haji, mabit di Muzdalifah, melempar Jamarat, dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah simbol-simbol yang memiliki makna bagi kehidupan seorang muslim.
Hampir semua pelaksanaan ibadah haji, selalu dirangkaikan dengan amalan doa dan dzikir, walaupun sebenarnya pelaksanaan ibadah haji dianggap sah hanya dengan pelaksanaan fisik, tanpa disertai dengan do’a dan dzikir.
Namun, betapa keringnya suatu amalan fisik tanpa disertai dengan do’a dan dzikir, yang dikhawatirkan berakibat pelaksanaan ibadah hajinya tidak ada makna apa-apa, hanya mendapatkan kelelahan dan keletihan, tidak menambah nilai spiritual, bahkan hanya menjadi ajang pamer. Na’uzubillah.
Sangat patut kita renungkan Firman Allah azza wa jalla dalam Al-Qur’anul Karim yang berbunyi:
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka berzikirlah kepada Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut nenek moyang kamu, bahkan berzikirlah lebih dari itu. Maka di antara manusia ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia,” dan di akhirat dia tidak memperoleh bagian apa pun”. Dan di antara mereka ada yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka. Mereka itulah yang memperoleh bagian dari apa yang telah mereka kerjakan, dan Allah Mahacepat perhitungan-Nya”. (QS. Al-Baqarah/2: 200-202)
Ayat di atas mengajarkan kita untuk selalu berdzikir, mengingat Allah aza wa jalla, terutama setelah melaksanakan ibadah haji.
Diriwayatkan bahwa sekelompok orang-orang Arab yang telah melaksanakan haji, akan menyebut kelebihan-kelebihan bapaknya, nenek moyang nya yang telah melakukan kebaikan. Maka Allah azza wa jalla memerintahkan agar menyebut Nama Allah azza wa jalla bahkan melebihi sebutan terhadap nenek moyang mereka.
Dari ayat di atas juga dijelaskan, bahwa ada dua golongan orang-orang yang telah melaksanakan haji, satu golongan hanya meminta kebaikan duniawi. Tak sedikit orang yang pergi haji, hanya menginginkan kebaikan dunia saja, lalu ditegaskan bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa di akhirat.
Semoga kita termasuk golongan yang memohon kepada Allah SWT kebaikan dan kesejahteraan di dunia, dan juga kebaikan dan kesejahteraan di akhirat. Wallaahu a’lam.