Khutbah Jumat: Hijraturrasul, Memupus Dendam, Menebar Damai
“Sesungguhnya yang dimaksud orang berhijrah itu adalah mereka yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. Dan, Muslim itu adalah mereka yang membuat orang lain damai dari gangguan ucapan dan perbuatannya (HR. Ahmad dari Abdullah ibn ‘Amr).”
Oleh : Prof. Dr. H. M. Darwis Hude, M.Si
Jakarta, www.istiqlal.or.id - Ma’asyiral Muslimin, rahimakumullah. Saat ini kita sedang berada di bulan Shafar. Peristiwa hijraturrasul dari Mekah ke Yatsrib (demikian nama Madinah saat itu) terjadi di akhir bulan Shafar hingga pertengahan Rabiul Awal.
Tepatnya, 26 Shafar Nabi SAW keluar dari rumah meloloskan diri dari lubang jarum pembantaian di Mekah, berlindung beberapa hari di gua Tsur bersama sahabat setianya, Abu Bakar ash-Shiddiq; lalu bergerak ke Yatsrib 1 Rabi’ul Awal, dan tiba dengan selamat di Quba (luar kota Yatsrib) 12 Rabi’ul Awal (2 Juli 622). Prioritas pertama yang beliau canangkan adalah membangun masjid – yang kita kenal saat ini dengan Masjid Quba.
Selama periode Mekah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersama dengan pengikutnya diperlakukan sangat tidak manusiawi oleh orang-orang musyrikin Mekah. Tercatat dalam sejarah bagaimana pemangku adat bersama dengan birokrat melakukan pemboikotan (embargo) ekonomi dan sosial selama kurang lebih tiga tahun.
Pertama, siapa pun yang memberi pertolongan hatta menerima kaum Muslimin sebagai tamu di rumahnya maka ia dianggap bagian dari mereka dan hak-haknya sebagai warga masyarakat juga ikut diputus.
Kedua, tidak dibolehkan terjadi hubungan pernikahan dengan kaum Muslimin.
Ketiga, penduduk Mekah tidak diperkenankan melakukan transaksi ekonomi dengan kaum Muslimin. Semua produk pertanian, peternakan, industri tidak boleh dijual kepada pengikut Muhammad SAW. Sebaliknya, semua produk yang dihasilkan kaum Muslimin dilarang dibeli oleh penduduk kota.
Selama kurun waktu tiga tahun embargo itu berlangsung hampir tak ada lagi di antara kaum Muslimin yang dapat dikategorikan sebagai orang kaya, karena usahausaha mereka macet total, dan harta yang mereka miliki digunakan untuk berbagi dengan yang lainnya untuk sekedar menyambung kehidupan. Mau tidak mau mereka terpaksa saling mendekat untuk bisa saling menguatkan.
Akses keluar mereka pun dibatasi dengan hanya satu pintu keluar yang dengan mudah dapat dipantau efektivitas embargo itu. Ummu Jamil, isteri Abu Lahab, memiliki pekerjaan baru, menanam ranjau berupa duri padang pasir yang panjang dan tajam di sekitar akses satu-satunya umat Islam. Hampir setiap hari ada saja di antara kaum Muslimin yang terkena ranjau itu.
Saat-saat seperti itu, Ummu Jamil kegirangan bahagia di atas penderitaan orang lain. Pantas apabila Al-Qur’an mengabadikan sebagai wanita yang akan menggunakan ‘perhiasan’ berupa kalung dari api nanti di akhirat. (Wa’mratuhu hammalatal hatab, fi jidiha hablum min masad, QS. Al-Lahab/111: 4-5).
Dalam situasi yang berkepanjangan itu dan dampak buruk yang ditimbulkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupaya ke Thaif (daerah subur sejak dulu hingga saat ini) untuk mencari bantuan ekonomi.
Akan tetapi, harapan beliau pupus ketika ia diusir dari kota itu, dianggap orang sinting bahkan dilempari batu-batu gurun dari pemuda-pemuda setempat hingga betisnya berdarah-darah. Di luar pintu kota beliau duduk berteduh sambil membersihkan luka-lukanya di bawah naungan hamparan perkebunan anggur.
Di tengah-tengah keheningan berbaur kesedihan sekonyong-konyong malaikat Jibril datang menghampiri: “Tuhanmu tidak tidur, Ia menyaksikan semua peristiwa. Angkat kedua tanganmu dan berdoalah agar semua orang yang memperlakukan engkau tidak manusiawi ditimpakan azab!” Ibarat kata, ucapan Jibril belum sampai titik, langsung disambut dengan ujaran: “Jangan, jangan, ….. Allahummahdi qaumi, fainnahum la ya’lamun (Ya Allah berilah petunjuk kaumku, mereka melakukan hal itu hanya karena tidak tahu kebenaran yang saya sampaikan)”.
Bandingkan, para hadirin, dengan apa yang dialami Nabi Nuh alaihis salam di masanya. Sembilan ratus lima puluh tahun berdakwah (QS. Al-‘Ankabut/29: 14) hanya beberapa puluh kepala yang mau mengikutinya. Ia diperlakukan tidak manusiawi, diolok-olok, dan dipermalukan di setiap kesempatan, hingga Jibril datang menawari bantuan sebagaimana yang dialami Nabi Muhammad di luar kota Thaif seperti dikemukakan tadi.
Langsung Nabi Nuh alaihis salam mengangkat kedua tangannya dan berujar dengan getaran suara membahana:
وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا
Artinya: "Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi." (QS. Nuh/71: 26)
Serta merta gemuruh hujan dan air menyembur dari bumi serta air laut pasang (rob) – boleh jadi merupakan tsunami pertama yang terjadi di planet ini. Banjir bandang atau tsunami itu tak menyisakan seorang pun orang kafir sesuai dengan doa Nabiyyullah Nuh alaihis salam.
Ma’asyiral Muslimin, rahimakumullah. Sesampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada hari Jumat (hari pertama disyariatkannya Shalat Jumat) di Madinah, beliau mempersaudarakan semua orang, mulai dari kaum Muhajirin (pendatang) dengan kaum Anshar (pribumi) dan semua unsurunsur penduduk yang sudah ada terlebih dahulu di sana, tanpa mempersoalkan latar belakang agama mereka.
Dibikinkan sebuah dokumen--oleh ahli disebut sebagai konstitusi pertama yang dibuat di muka bumi ini untuk sebuah negara--yang mengatur perjanjian antara dirinya dengan suku-suku yang ada dalam berkehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dokumen ini dikenal dengan Piagam Madinah (Shahifah alMadinah).
Mereka hidup damai dan harmoni dalam berbagai latar belakang tanpa ada yang saling mengganggu. Bahkan, penduduk Anshar banyak yang terus menolong saudaranya meskipun mereka sendiri sejatinya masih sangat kekurangan. Mari kita simak Al-Qur'an Surah Al-Hasyr/59 ayat 9 berikut ini :
وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَالْاِيْمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّوْنَ مَنْ هَاجَرَ اِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُوْنَ فِيْ صُدُوْرِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ اُوْتُوْا وَيُؤْثِرُوْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۗوَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ
Artinya : “Orang-orang (Ansar) yang telah menempati kota (Madinah) dan beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin) mencintai orang yang berhijrah ke (tempat) mereka. Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak. Siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Qur'an Surah Al-Hasyr/59 ayat 9)
Keikhlasan berbagi dengan sesama manusia, sebagaimana ditunjukkan kaum Anshar kepada kaum Muhajirin, merupakan salah satu bentuk sikap altruisme yang harus terus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Saling menyayangi adalah salah satu pilar yang ditancapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada di Madinah.
Di dalam Al-Qur’an, akhir Surah Al-Fath, telah dijelaskan karakteristik masyarakat yang dibentuk oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam lima hal:
Pertama, tegas terhadap perilaku-perilaku yang tidak Islami, perilakuperilaku menolak atau menentang kebenaran. Ada benang merah yang jelas antara kebenaran (keimanan) dengan kebatilan (kekufuran), antara yang menerima kebenaran dan yang menolaknya.
Kedua, saling mengasihi antarsesama. Mereka menunaikan hak dan kewajiban serta hidup saling memberi supporting (ta’aruf, tarahum, ta’awun, takaful, tadhamun atau saling mengenal, mengasihi, menolong, menanggung, dan saling menjamin) dalam kebaikan.
Ketiga, melazimkan shalat lima waktu sesuai dengan aturan syar’i secara konsisten.
Keempat, mendorong untuk terus bekerja keras mencari karunia Allah yang halal (diridhai) Allah Ta’ala. Kelima, tampak ada tanda-tanda bekas (efek) shalatnya dalam penampilannya sehari-hari.
Apa efek salat itu? Tak lain adalah mencegah perbuatan keji dan mungkar. Apabila seseorang telah terpelihara dari perbuatan keji dan mungkar maka ia telah mendapati tanda-tanda bekas sujud di wajahnya (simahum fi wujuhihim min atsaris sujud).
Pada saat umat Islam telah memiliki kekuatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersama sahabatnya melakukan pembebasan kota Mekah (Fathu Makkah) dari para tiran yang mengeksploatasi penduduknya dalam kehidupan jahiliah. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 H (630M).
Hal menarik adalah setelah umat Islam dapat membebaskan kota itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan semua penduduk Mekah lalu disuruh berdiri berbaris. Mereka mengira ia segera dieksekusi dengan hukum pancung sebagaimana lazimnya mereka melakukannya terhadap tawanan perang.
Akan tetapi, sama sekali di luar dugaan mereka, karena tak setetes darah pun mengucur. Malah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan pidato singkat, lalu menegaskan: “Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan/dendam atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!” “Antumut thulaqa’” (Hari ini adalah hari kebebasan tanpa syarat).
Tiada dendam, tiada cercaan, tiada makian, meskipun bertahun-tahun beliau SAW beserta sahabatnya diboikot, diembargo, diranjau, dimaki-maki selama bertahun-tahun, lalu diusir keluar negeri tempat tinggalnya setelah berkali-kali luput dari pembunuhan. Sungguh mulia teladan beliau buat kita yang masih ada dan masih sering dendam lalu membalas, dengan makian, umpatan, tawuran, perundungan (bullying), bahkan kadangkadang dengan gibah, secara langsung maupun lewat media sosial. Na’uzu billah.
Artinya : “Sesungguhnya yang dimaksud orang berhijrah itu adalah mereka yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah. Dan, Muslim itu adalah mereka yang membuat orang lain damai dari gangguan ucapan dan perbuatannya (HR. Ahmad dari Abdullah ibn ‘Amr).”
Semoga Allah subhanahu wata'ala memberi kekuatan kepada kita untuk senantiasa memupus dendam dan menebar kedamaian dimana pun kita berada, karena seperti itulah yang diteladankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (FAJR/Humas dan Media Masjid Istiqlal)